Opini

Sula Dalam Pusaran Ketertinggalan

Istimewa

Oleh: Ihsan Umaternate dan Darwis Gorantalo
(Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula)

=====================================

Kabupaten Kepulauan Sula, jika diibaratkan sebagai manusia, seharusnya sudah dewasa dan mengalami kemajuan yang signifikan. Usia 21 tahun tentu telah melewati banyak hal—jatuh-bangun, suka, dan duka. Bahkan, ada momen-momen yang sangat menyedihkan, yang seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dari pengalaman tersebut, seharusnya muncul keinginan untuk memperbaiki dan membenahi apa yang selama ini menjadi harapan kita bersama.

Pada tahun 2024, Kabupaten Kepulauan Sula mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam “Anugerah Merdeka Belajar 2024” untuk kategori Kelompok Pemda Inspiratif (Kabupaten Daerah Tertinggal). Ada dua hal yang perlu dicermati: "Pemda Inspiratif" dan "Daerah Tertinggal."

Dalam dimensi kebudayaan, manusia selalu mengalami proses yang dinamis dalam kehidupan masyarakat. Semua masyarakat di dunia menginginkan perubahan, perkembangan, dan kemajuan tanpa adanya keinginan untuk tertinggal, terutama di tengah perubahan yang sangat pesat ini.

Makna istilah "tertinggal," "terbelakang," atau "orang belakang gunung" sering kali disalahartikan. Bagi mereka yang menganggap diri mereka sebagai orang kota atau pihak yang peradabannya dianggap maju, sering kali memandang orang-orang dengan status tertinggal, di belakang gunung, atau di pulau sebagai tidak beradab dan primitif. Akibatnya, eksistensi mereka sering diabaikan.

Istilah "tertinggal" lebih merujuk pada masalah pembangunan. Jika kami (ISDA) terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati, kami berkomitmen untuk mengatasi status ketertinggalan dengan berusaha memajukan daerah melalui pengembangan potensi di sektor pertanian, perikanan, dan kelautan, serta membangun infrastruktur jalan dan lainnya. Kami akan mengidentifikasi potensi, masalah, dan peluang, serta melibatkan peneliti, akademisi, LSM, dan pihak lain yang berkomitmen untuk membangun daerah.

Kabupaten Kepulauan Sula, di usia 21 tahun, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain, masih tertinggal dalam hal pembangunan—belum ada kemajuan yang signifikan. Minimnya peluang kerja dan meningkatnya pengangguran dari tahun ke tahun menyebabkan banyak pemuda-pemudi menjadi buruh upahan di perusahaan tambang (Pulau Obi dan Halmahera Tengah).

Pendapatan per kapita masyarakat Sula, dari tahun ke tahun, justru menurun. Hal ini terlihat dari sektor pertanian dan perikanan. Di sektor pertanian, masyarakat tani di Sula sebagian besar menggantungkan hidup pada hasil pertanian kelapa. Harga kopra selalu mengalami fluktuatif dan tahun ini relatif mengalami peningkatan harga. Akan tetapi, soalnya adalah buah kelapa mengalami penurunan drastis. Berbeda dengan tahun-tahun lalu, yang buah kelapa sangat menjanjikan, tetapi harganya turun drastis—harga kopra 100 kilogram bahkan tidak cukup untuk membeli beras satu karung (25 kilogram).

Baca juga:

Pj Bupati Morotai Terancam Pidana Gegara Rotasi OPD di Tengah Pilkada

Hasil Survey Elektabilitas Empat Paslon Wali Kota Ternate Pilkada 2024

Puluhan Petugas DLH Morotai Terancam Dipecat: Diduga Karena Pilihan Politik

Sebagai akibatnya, sebagian besar kopra petani Sula dijual di pasar Bitung dan Luwuk (Sulawesi), karena di sana harga kopra relatif tinggi dan harga sembako murah. Pemerintah jarang memikirkan hal ini, padahal jika dibiarkan, dampaknya pada pendapatan daerah dan kehidupan petani semakin rentan. Pemerintah harus hadir dan memikirkan nasib petani kelapa.

Dalam hal ini, kami berpikir bahwa pemerintah perlu mengambil langkah bijaksana saat terjadi penurunan harga dan mengembangkan ekonomi kreatif dari kelapa, seperti yang disebut Muhammad Hatta sebagai ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan Hatta relevan karena masyarakat Sula memiliki budaya gotong-royong yang kuat. Budaya lom poa do hoi dan walima, misalnya, merupakan modal sosial untuk membangun ekonomi masyarakat.

Selain petani kopra, masyarakat Sula juga memiliki sejarah sistem pertanian padi ladang yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan dan kedaulatan petani. Namun, sistem pertanian padi ladang hingga kini diabaikan dan tidak mendapat perhatian serius. Sementara itu, sistem pertanian padi sawah yang memerlukan irigasi tidak cocok dengan karakteristik masyarakat Sula. Padi sawah yang diterapkan beberapa tahun lalu hanya menguntungkan sebagian elit dan pengusaha, sementara petani dirugikan. Pembangunan sektor pertanian seharusnya difokuskan pada pengembangan hasil pertanian kopra, padi ladang, dan hortikultura.

Selanjutnya 1 2
Penulis:

Baca Juga