Pertambangan

‘Ancaman’ Dua Perusahaan Tambang di Tapal Batas Desa Roko Halmahera Utara

Cuplikan video dari warga Desa Roko yang discreendshott. Tampak warga menanam pohon kelapa di wilayah Gogoroko yang digusur perusahaan. Foto: Istimewa

Tobelo, Hpost - Ekspresi gelisah terpancar dari raut wajah Adriel Lepa, warga Desa Roko, Galela Barat, Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara (Malut), saat ditemui madia ini di kediamannya, Sabtu 14 Maret 2020. Karena sewaktu-waktu, kehadiran perusahaan PT. HJM dan PT. TUB harus membuat mereka tersingkir dari tanah ulayat mereka.

Dari dokumen yang diperoleh media ini, PT. TUB adalah perusahaan tambang emas, yang di take over dari perusahaan sebelumnya, yakni PT Gunung Emas Indonesia, atau Indonesia Monten Gold.

PT. TUB mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) lewat Surat Keputusan (SK) Gubernur Malut, nomor 212/KPTS/MU/2015 dengan tanggal berakhir 9 Agustus 2019.

Izinnya adalah melakukan eksplorasi di area seluas 7792.40 hektare, dengan wilayah garapan di Halmahera Barat (Halbar).

Warga Desa atau Bakunpantai, menggelar aksi menuntut PT. TUB merealisasikan kesepakatan terkait ganti rugi lahan. Foto: Istimewa

Sedangkan PT. HJM mengantongi IUP lewat SK Gubernur Malut nomor 198.5/KPTS/MU/2016 dengan tanggal berakhir 2 Desember 2036.

Izinnya adalah operasi produksi emas pada area seluas 1500 hektare di Halut. Saat ini, Desa Roko yang berpenduduk sekitar 280 KK masuk dalam area operasi PT HJM.

Menurut Adriel, sejak akhir 2017, aktivitas operasional PT. TUB sudah memasuki lahan perkebunan warga kurang lebih 17 hektare.

Perusahaan diduga menggusur lahan perkebunan seluas 16 hektare, tanpa ada pemberitahuan. Kini, perusahaan telah membangun smelter, kantor, mes karyawan, hingga pos polisi.

Bahkan dugaan penyerobotan itu, belum ada ganti-rugi lahan terhadap warga Desa Roko, kecuali dua warga Desa Nolu, yakni Jhon dan Samuel, sebesar Rp 4 ribu per-meter.

Peta fungsi kawasan hutan PT. TUB. Foto: Istimewa

Namun 16 hektare itu masuk dalam lahan perkebunan milik keluarga Mangoru, yang memiliki luas lahan 200 hektare. "Lokasi itu masih dalam sengketa adat," katanya.

Desa Roko sendiri terdiri dari dua marga, yakni Jamluki dan Mangoru. Mayoritas penduduknya beragama Nasrani.

Saat ini, lanjut Adriel, lahan milik keluarga Mangoru yang kini dibangun mes karyawan, oleh perusahaan telah membayar kompensasi.

"Luasnya sekitar 7 hingga 8 hektare. Jadi triknya itu, perusahaan membayar orang per-orang," katanyah

Adriel menilai, dalam ketentuan harus ada negosiasi antara perusahaan dan pemilik lahan. "Tapi ini tara (tidak) ada. Main serobot saja. Ini yang torang (kami) kecewa," tuturnya.

Adriel Lepa, warga Desa Roko, Galela Barat, Halmahera Utara. Foto: Lis/Cermat

Menurut dia, alasan perusahan menggusur lahan perkebunan, untuk kepentingan penelitian. "Torang (kami) sempat menyurat ke perusaahan. Torang (kami) minta perusahaan hadir," katanya.

Perusahaan sempat memenuhi. Namun saat itu terjadi sedikit perdebatan terkait waktu pertemuan. Pertemuan pun gagal.

"Nanti sepekan kemudian baru orang dari kementerian kehutanan datang bakudapa (bertemu) torang (kami), bahas tentang hak guna pakai lahan," katanya

Persoalan lain yang mengusik pikiran Adriel adalah lokasi pembuangan limbah. Informasi yang ia peroleh, limbah tambang disebut tidak dibuang ke sungai Tiabo.

"Tapi di perairan Loloda Tengah. Dorang (mereka) juga bilang, torang (kami) pe (punya) desa ini tara (tidak) masuk area lingkar tambang," ucapnya.

Loloda Tengah adalah salah satu Kecamatan di Halbar. Di situ terdapat beberapa desa, di antaranya Janu, Aruku, Bakunpantai atau Nolu, Tosomolo, Bilote, Barataku, Gamkahe, dan Umadada.

Dua karyawan PT. TUB menyeberangi sungai Tiabo. Foto: Lis/Cermat

Namun lokasi pembuangan limbah masih diragukan Adriel. Karena kehadiran PT. TUB di wilayah Halbar sempat diprotes dalam aksi mahasiswa.

"Dari situ torang (kami) dapat informasi, kalau limbah perusahaan dibuang di Sungai Tiabo," katanya.

Letak Desa Roko sendiri berada di sepanjang aliran Sungai Tiabo, dan bermuara hingga ke area Pabrik Tapioka serta ke pesisir pantai Mamuya dan Gilitopa Simau, Galela, Halut.

Menurut Adriel, dari keterangan yang berbeda-beda itu, 7 desa di Loloda Tengah pun menolak kehadiran PT. TUB. Kecuali Desa Nolu.

"Orang Nolu punya alasan itu, akses transportasi mereka ke Galela untuk berbelanja kebutuhan lebih dekat," katanya.

Jejak Historis di Balik Tapal Batas

Terkait lokasi perkebunan warga Desa Roko, menurut Adriel, terhitung dari sebuah jembatan yang terbentang di atas sungai Tiabo. Kini, secara administrasi masuk dalam wilayah Halbar.

Titik perbatasan itu berada di sebuah perbukitan, yang oleh warga Roko dikenal dengan sebutan Gunung Gurapang. "Itu menjadi titik tapal batas antara Halut dan Halbar," jelasnya.

Dalam penetapan tapal batas pun sempat menuai protes dari warga Galela. "Karena lahan perkebunan masyarakat Galela cukup luas," katanya.

Bahkan, lanjut dia, warga Desa Nolu mengakui titik batas itu. "Orang Nolu di Loloda Halbar juga mengakui itu," katanya.

Rumah penduduk Desa Roko, Galela Barat, Halmahera Utara. Foto: Lis/cermat

Media ini sempat menyambangi lokasi awal penduduk Desa Roko bermukim. Nama wilayahnya Kori Tua. Kini, tersisa sekira 4 rumah di lokasi itu.

Masih membekas di ingatan Adriel. Dalam peristiwa perpindahan penduduk dari Koru Tua ke Roko, tak terlepas dari sejarah Perdjuangan Rakjat Semesta atau Permesta.

Kala itu, mereka diungsikan oleh Pemerintah Kecamatan Galela yang difasilitasi oleh Mobrib--semacam satuan--sebelum dibentuknya Brigadir Mobile.

Disamping itu, terdapat pertimbangan seperti akses kesehatan dan pendidikan. Maka pada 1964, mereka secara besar-besaran berpindah ke lokasi yang kini bernama Desa Roko.

Maka secara historis, kata dia, area perkebunan Gogoroko yang kini dimasuki PT TUB, menjadi wilayah garapan masyarakat Kori Tua atau Roko, sejak sebelum Indonesia merdeka.

Menurut dia, ini dibuktikan dengan pohon sagu sebagai tanda batas alam, atas perintahkan Kesultanan Ternate. "Selain makanan, sagu juga sebagai pembayaran upeti untuk kerajaan Ternate," jelasnya.

Bahkan selain sagu, lanjut dia, terdapat sisa-sisa pohon kelapa yang berusia kurang lebih 100 tahun. "Itu masih ada di areal Gogoroko hingga sekarang. Buktinya masih ada," katanya.

Son Suba, warga Desa Roko, Galela Barat, Halmahera Utara. Foto: Lis/cermat

Sementara, hutan dan lahan perkebunan yang dicaplok PT TUB adalah wilayah yang telah dirintis oleh leluhur mereka sejak turun-temurun. "Wilayah Gogoroko itu kampung tua desa kami," katanya.

Bagi Adriel, tak jadi persoalan atas keberadaan perusahaan. Sebab dia berkeyakinan, kehadiran perusahaan akan menyerap tenaga kerja di desanya.

Tapi sebagai warga desa yang bergantung dari hasil perkebunan, ia keberatan dengan gaya perusahan dalam menguasai lahan. "Perusahaan masuk di wilayah kami tanpa pemberitahuan," tandasnya.

Shon Suba, warga Desa Roko lainnya, mengaku dua pekan lalu, ada orang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendatangi rumahnya.

Dari setiap penjelasan, Son dan beberapa warga Desa Roko yang hadir dalam pertemuan itu bersikukuh menolak langkah perusahaan.

Alasannya, lahan tersebut dikelola oleh leluhur dan orang tua mereka. "Itu sudah berlangsung turun-temurun, dan manfaatnya untuk torang (kami) anak-cucu," tuturnya.

Penulis: Lis
Editor: Red
Sumber: Cermat Patner Kumparan

Baca Juga