Indeks Demokrasi

Indeks Demokrasi Malut Merosot 2,21 Persen, Warning untuk Penyelanggara

Data IDI BPS Malut

Ternate, Hpost - Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Maluku Utara 2019 menurun 2,21 persen dari sebelumnya pada 2018 sebesar 72,10 merosot di angka 69,89 persen. Lembaga demokrasi di Maluku Utara dinilai buruk dengan nilai 58,11 persen.

Kepala BPS Prov Malut, Atas P. Libus menjelaskan, angka IDI Maluku Utara 2019 merupakan indeks komposit yang disusun dari nilai tiga aspek, yakni aspek kebebasan sipil dengan nilai 85,61, aspek hak-hak politik dengan nilai 64,86 dan aspek lembaga demokrasi dengan nilai 58,11.

"Capaian kinerja demokrasi Indonesia tersebut masih berada pada kategori “sedang”. Klasifikasi tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60 – 80), dan “buruk” (indeks < 60)," paparnya, Rabu 5 Agustus 2020.

Atas menjelaskan, IDI Malut dari 2009 hingga 2019 mengalami fluktuasi. Tahun 2009 = 67,21, tahun 2010 = 59,92, tahun 2011 = 59,17, tahun  2012 = 66,83, tahun 2013 = 64,06, tahun 2014 = 67,90, tahun 2015 = 61,52, tahun 2016 = 73,27, tahun 2017 = 70,73, tahun 2018 = 72,10 dan tahun 2019 = 69,89.

Tingkat demokrasi Prov Malut selama 2010 hingga 2011, sempat masuk dalam kategori “buruk”. Tetapi, dalam tiga tahun pengukuran terus mengalami peningkatan dan berada pada kategori “sedang”. Hal ini menandakan, mulai matangnya perilaku dan sikap masyarakat, serta pelaku politik dalam berdemokrasi.

"Fluktuasi angka IDI Prov Malut merupakan cerminan dinamika demokrasi. IDI sebagai alat untuk mengukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia, memang dirancang untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi, karena IDI disusun berdasarkan evidence based atau kejadian, sehingga potret yang dihasilkan IDI merupakan refleksi realitas yang terjadi, "jelasnya.

Perkembangan selama sembilan tahun pengukuran IDI (2009-2019). Ketiga aspek demokrasi yang diukur terlihat fluktuatif, Nilai indeks aspek kebebasan sipil pada tahun 2019 sebesar 85,60. Yang mana, mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya 78,94.

Capaian ini, ungkap Atas P. Lubis, menempatkan indeks aspek sipil berada pada kategori baik, setelah pada 2018 termasuk kategori sedang. Selanjutnya, aspek hak-hak politik cenderung mengalami fluktuasi, sehingga pada lima tahun terakhir (2015-2019) termasuk dalam kategori sedang, dimana periode sebelumnya, selalu berada pada kategori buruk.

Penurunan yang cukup nyata, terjadi pada aspek lembaga-lembaga demokrasi. Dimana pada 2019, selama kurun waktu delapan tahun sejak 2009, nilai aspek kebebasan sipil selalu lebih tinggi dari pada dua aspek lainnya.

"Jika dibandingkan tahun 2018, dua aspek mengalami peningkatan, yaitu aspek kebebasan sipil dan hak-hak politik. Sedangkan aspek lembaga demokrasi, mengalami penurunan yang tinggi yang menyebabkan turunnya angka indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2019," tandasnya.

Warning untuk Penyelanggara

Hendra Kasim, Akademisi UMMU, mengatakan, hasil riset BPS mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sepatutnya menjadi catatan bagi segenap pihak terutama lembaga demokrasi yakni partai politik dan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).

“Yang mengalami penurunan drastis adalah aspek lembaga demokrasi, apalagi di tahun 2020 dari 8 Kabupaten/Kota akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Ini warning bagi penyelanggara."

Hendra meminta penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) wajib patuh pada aturan main. Jika penyelenggara pemilihan tidak patuh pada electoral laws maupun electoral etic, Hendra bilang, indeks demokrasi Maluku Utara dipastikan akan turun lagi.

“Yang dimaksud dengan electoral laws adalah segala peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan pemilihan. Mulai dari persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyelesaian sengketa hingga evaluasi dan laporan pelaksanaan pemilihan. Sementara electoral etic merupakan segala yang berkaitan dengan etika penyelenggara pemilu,” paparnya.

Menurut Direktur Perkumpulan Demokrasi Konstitusional (PANDECTA) Provinsi Maluku Utara (Malut), pelanggaran terhadap electoral laws sudah pasti melanggar electoral etic. Namun, pelanggaran terhadap electoral etic belum tentu melanggar electoral laws.

Sebagai contoh, beberapa PPK yang pada pemilihan 2019 di Kabupaten Halmahera Selatan di berhentikan karena melanggar etic.

Contoh lain misalnya penyelenggara pemilu di Sula yang dilaporkan ke DKPP, jika terbukti maka peristiwa tersebut dapat dikategorikan melanggar etik. Namun, belum tentu melanggar electoral laws.

“Data BPS Mengenai IDI Maluku Utara mengingatkan kami pada Indeks Kerawanan Pemilu yg di reales oleh Bawaslu. Di beberapa daerah IKP cukup tinggi, misalnya Ternate karena potensi kerawanan pada netralitas ASN,” katanya.

Sebab itu, sebaiknya hasil riset BPS mengenai IDI Maluku Utara ataupun Bawaslu mengenai IKP, sepatutnya menjadi catatan bagi semua pihak.

“Akhirnya, bahwa demokrasi never-ending business, sebab itu peradaban demokrasi harus di bangun oleh semua pihak,” tutupnya.

Penulis: Awi
Editor: Firjal

Baca Juga