Opini
Membumikan Ilmu Gempa di Maluku Utara
"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" – Ir. Sukarno.
Ir. Sukarno, pahlawan yang dijuluki “Penyambung Lidah Rakyat”, adalah salah satu kader terbaik bangsa yang mampu menyampaikan gagasan tentang “Negara Indonesia” dengan sangat baik. Beliau juga berhasil mengkomunikasikan konsep kebangsaan agar dapat diterima oleh masyarakat majemuk. Padahal, pada saat itu garis pendidikan masyarakat tidak lebih baik dari sekarang. Tak jarang pemimpin dunia banyak yang terinspirasi oleh Bung Karno. Bahkan buah pikirannya juga banyak dikaji dan masih relevan sampai saat ini.
Apa yang menarik dari cuplikan bahasan tentang Ir. Sukarno di atas? Menyampaikan suatu informasi agar dapat diterima masyarakat umum ternyata bukan perkara yang mudah. Ada kalanya informasi itu rumit tetapi bisa diterima karena cara penyampaiannya yang mudah dipahami. Namun, ada juga suatu informasi yang sebenarnya sederhana, tetapi ditolak karena kurang tepat sasaran. Kita bisa menyimpulkan bahwa Sukarno adalah penyampai informasi handal pada masa itu.
Tantangan “menyampaikan informasi” di era digital saat ini dapat kita temukan dalam penyampaian sains ke masyarakat umum. Sains menjelaskan fenomena alam yang menarik bagi masyarakat di segala aspek kehidupan. Peran sains yang semakin penting keberadaannya mendesak masyarakat memahami sains tersebut. Di sini butuh peran science communicator untuk menyampaikan informasi agar dapat diterima oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, kebutuhan akan sosok science communicator di masyarakat adalah urgensi edukasi kegempaan di Maluku Utara.
Sebagai wilayah dengan kondisi kegempaan tinggi, informasi tentang kegempaan akan menjadi kebutuhan wajib dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara. Wilayah Maluku utara dilalui jalur gempa sabuk Sirkum Pasifik, karena terletak pada pertemuan lempeng tektonik besar dunia, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan lempeng Filipina. Bedasarkan data BMKG stasiun geofisika Ternate, di awal Januari sampai akhir Mei tercatat 666 gempa dengan 28 total jumlah gempa dirasakan. Dalam rentang waktu tersebut, terdapat 2 kali gempa bumi merusak yaitu di Tobelo dan Galela. Di wilayah Maluku Utara juga terdapat potensi gempa swarm, yaitu serangkaian aktivitas gempa dengan kekuatan gempa yang relatif kecil dengan frekuensi yang cukup sering di wilayah tertentu.
Baca Juga:
Masalahnya, tidak semua masyarakat mempunyai akses informasi tentang kegempaan di Maluku Utara. Tidak sedikit juga masyarakat yang berbeda pandangan dalam menyikapi gempa bahkan terpapar hoaks, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mitigasi bencana. Padahal pemerintah sedang mengupayakan bagaimana daerah yang terkena dampak gempa tidak menimbulkan korban jiwa (zero victim). Sebagai masyarakat yang melek akan teknologi dan informasi, sejatinya kita, generasi zaman sekarang, secara tidak langsung memiliki tanggung jawab sebagai science communicator, bagaimana kita dapat bertindak sebagai subjek utama dalam mengkomunikasikan sains kegempaan agar dapat diterima lingkungan sekitar.
Ada beberapa tips menjadi science communicator agar dapat membantu pemerintah dalam memitigasi bencana gempa bumi. Pertama, pilih informasi mana yang paling mendesak untuk disampaikan. Informasi kegempaan itu sangat luas. Namun sesuai dengan tujuan pemerintah yaitu bagaimana suatu kejadian gempa tidak menimbulkan korban jiwa, maka informasi terkait penunjang tujuan tersebut wajib kita ketahui, seperti meminimalisir korban dengan evakuasi mandiri. Selebihnya bisa menjadi wawasan tambahan.
Kedua, kuasai materi dan gunakan bahasa yang mudah dimengerti. Kadangkala kita menyampaikan informasi sains kepada orang terdekat menggunakan bahasa yang terlalu “tinggi” dan membingungkan. Nah, alangkah baiknya kita harus “membumikan” informasi tersebut agar dapat diterima. Caranya, kita harus menguasai informasi yang akan kita sampaikan. Kemudian, informasi tersebut kita terjemahkan ke bahasa kita sehari-hari. Usahakan menggunakan bahasa yang paling sederhana dan jauhi istilah asing yang sulit untuk dimengerti. Akan jauh lebih baik lagi jika kita bisa menguasai bahasa lokal setempat.
Ketiga, setarakan pemahaman terkait gempa bumi. Ini berlaku jika kita ingin menyampaikan ilmu gempa di daerah yang tidak kita kenal/daerah asing. Sebagai science communicator, alangkah baiknya kita diskusi terlebih dahulu dengan warga setempat, bagaimana cara pandang dalam menyikapi gempa. Biasanya warga jauh lebih berpengalaman dalam menghadapi gempa karena lebih mengenal lingkungannya sendiri. Jika ada kekurangan atau kesalahan, kita bisa menyempurnakan.
Itulah tips tips sederhana menjadi science communicator yang baik. Harapannya ilmu tentang gempa tidak hanya menjadi konsumsi eksklusif di kalangan akademisi, namun juga mudah di terima sebagai obrolan obrolan di warung kopi, perkantoran dan keluarga sehingga warga Maluku Utara bisa hidup berdampingan dengan gempa.
Komentar