Opini
Bira Sua: Pengembangan Ekonomi dan Kedaulatan Petani
Oleh: Ihsan Umaternate dan Darwis Gorantalo
(Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula)
=====================================
Pangan merupakan masalah krusial sehingga dibutuhkan langkah serius dan strategis dalam upaya untuk mengatasi ancaman—terutama ancaman krisis pangan global yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat lokal. Pada artikel kami sebelumnya yang bertajuk, “Sagu: Ketahanan Pangan dan Penggerak Ekonomi”, laman halmaherapost.com telah kami jelaskan, sagu adalah salah satu pangan lokal yang dari segi ketahanan pangan, kita tidak akan terjerat ancaman krisis pangan apabila dijadikan komoditas unggulan dan berperan dalam perekonomian daerah. Hal ini dapat terealisasi jika, dan hanya jika ada kearifan kerja sama multipihak—terutama pemangku kekuasaan.
Kami masih berupaya memotret masalah pangan dan langkah-langkah programatik yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan, penggerak ekonomi daerah serta kedaulatan petani. Namun, kali ini kami akan focus pada salah satu pangan lokal sebagai identitas budaya yang telah lama terkubur ke dasar zaman silam. Pangan lokal yang kami maksudkan adalah padi ladang. Orang Sula menyebutnya bira Sua. Entah apa penyebabnya sehingga bira sua yang menjadi pangan unggulan para leluhur ini hilang ditelan zaman.
Kami melihat hal ini berhubungan erat dengan gempuran perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan eksternal. Indonesia memiliki sejarah panjang pemusatan jenis pangan dan proyek industrialisasi pangan. Semasa Orde Baru, pemerintah telah mendorong proyek-proyek menjadikan beras sebagai pangan utama. Proyek ini terus berlangsung hingga saat ini—lewat proyek pengembangan lahan-lahan pertanian sawah dan ini berdampak pada: tergesernya beragam jenis pangan lokal.
Sebuah proyek yang diistilahkan sebagai proses Jawanisasi. Lewat program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menuntas kepadapatan penduduk yang menghantui pulau Jawa. Istilah transmigrasi pertama kali dikemukakan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam Harian Soeloeh Indonesia. Kemudian dalam Konferensi Ekonomi pada tanggal 3 Februari 1946 H. Mohammad Hatta menyampaikan Industrialisasi besar-besaran harus segera dibangun di luar Pulau Jawa, dan untuk itu diperlukan pemindahan penduduk Jawa sebagai tenaga kerjanya (Kevin Hutapea, 2023).
Hingga pada puncaknya yakni, di masa orde baru yang kita kenal dengan revolusi hijau. Selain proyek pengembangan lahan-lahan pertanian sawah, pemerintah pun terus-menerus mengelontorkan bantuan swasembada beras yang kita kenal Raskin (Beras Untuk Keluarga Miskin) adalah program pemerintah untuk membantu keluarga miskin dan rentan miskin mendapatkan beras dengan harga terjangkau. Adalah awal dari suatu kebijakan yang membiasakan orang Sula mengkonsumsi beras Raskin dan perlahan-lahan menggeser bira sua atau padi ladang.
Kasus yang sama pernah diulas Harian (Kompas, 2022) pada masyarakat Papua, untuk membiasakan orang asli Papua dengan beras. Pemerintah memberikan bantuan raskin atau beras miskin di Papua. Padahal, di Papua beras berasal dari luar atau dihasilkan oleh orang-orang luar Papua. Pemberian bantuan raskin ini ikut mempengaruhi luasan perkebunan masyarakat. Sejak adanya raskin, luas tanaman ubi dan kedelai cenderung berkurang.
Di sini kita dapat memahami bahwa, makanan sebagai identitas budaya mengalami pergeseran adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang terkesan memaksakan proyek yang sebenarnya tidak tepat sasaran atau tidak bersesuaian dengan pola hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memahami ketahanan pangan yang berhubungan dengan pertanian berkelanjutan.
Ketahanan pangan menurut UU No. 18 Tahun 2012 meliputi tiga aspek, yaitu aspek ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan.
Kami melihat kekeliruan kita adalah memahami konsep ketersediaan pangan bukan dalam konteks faktor produksi pangan—melainkan mengimpor pangan dari luar sebagai ketersediaan pangan. Sehingga yang dibijaki oleh pemerintah adalah mengimpor pangan dari luar daerah seperti misalnya Manado dan Surabaya. Semakin mengimpor pangan dari luar, maka, pangan lokal semakin terpinggirkan dan menciptakan ketergantungan.
Sehingga menurut hemat kami, yang seharusnya bijaki adalah faktor produksi pangan lokal berkelanjutan. Produksi pangan berkelanjutan yang kami maksudkan ialah, menyiapkan lahan pada setiap desa minimal lima (5) hektar untuk satu desa, alat produksi, support bantuan modal, bibit (hasil seleksi masyarakat) dan pengembangan kapasitas bertani. Proses dan mekanismenya melibat semua stock holder yang memiliki misi yang sama: dinas pertanian, NGO yang bergerak di bidang pertanian, akademisi, pihak Kecamatan, Pemerintah desa dan masyarakat sebagai pelaku utamanya.
Tugas pemerintah adalah membentuk unit kawasan sebagai pasokan bira sua (padi ladang), dan agar pangan padi ladang laku di pasaran, maka, perlu dibuat regulasi (Peraturan Daerah) untuk mengatur proses distribusinya. Bila ketersediaan pangan digenjot dalam konteks produksi, maka, keterjangkauan dan pemanfaatan dapat terpenuhi. Kami cukup yakin, jika pengembangan pangan lokal (padi ladang) diproduksi secara massif, maka akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat, mengurangi angka pengangguran dan dapat memberi peran dalam perekonomian daerah. Lebih jauhnya, kita tidak sekedar menjaga ketahanan pangan, tetapi, yang paling penting bagi kami (ISDA) adalah kedaulatan petani (meningkatkan harkat dan martabat petani) dan dapat mengatasi ancaman krisis pangan.
Komentar