Pertambangan
Merampas Ruang Hidup, PT IWIP Diminta Angkat Kaki dari Akejira

Weda, Hpost - Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Maluku Utara, Munadi Kilkoda meminta kepada pihak perusahan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park, yang beropersi di wilayah kawasan Akejira untuk segera menarik diri dan tidak melakukan kegiatan lagi di wilayah tersebut karena dinilai merampas ruang hidup masyarakat. Permintaan tersebut harus ditindaklanjuti oleh tim Akejira.
"Perusahaan sepertinya tidak memiliki niat baik. Untuk itu, prinsipnya kita meminta perusahan untuk tarik diri dari akejira, tidak boleh ada kegiatan di dalam wilayah Akejira karena kawasan itu bukan saja penting bagi keberlangsungan masyarakat Tobelo Dalam tetapi menjadi jantung Halmahera yang menghubungkan kepentingan masyarakat baik di tiga kabupaten yakni Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan," kata Munadi yang juga Ketua AMAN Malut usai melakukan pertemuan dengan tim akejira yang dibentuk oleh Pemda Halteng dan kelompok-kelompok yang ikut menyoroti kasus akejira, di Aula rapat Wakil bupati Halteng, Rabu 20 November 2019.
Munadi mendesak agar pihak perusahaan melakukan konsultasi dengan masyarakat yang berada di kawasan Akejira termasuk di dalam adalah Masyarakat adat Sawai, Tobelo Dalam dan wilayah lain yang terampak dari perusahan itu.
Konsultasi harus dilakukan karena perusahan memberi dampak lingkungan dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia.
"Kalau melihat fakta hari ini sebenarnya pelanggaran HAM itu sudah dilakukan, konsultasi itu seharusnya sudah dilakukan jauh sebelum adanya kegiatan tambang. Proses tahapan konsultasi dilewati perusahan, diabaikan perusahan sehingga perusahan seharusnya sementara ini harus melakukan pemberhentian," kata Munadi.
Munadi menambahkan, perusahan tidak boleh melakukan aktifitas sebelum ada konsultasi yang disebut dengan free prayer informant content. Konsultasi diatur dalam konvensi ILO 169, deklarasi PBB tentang masyarakat adat, kemudian juga diatur melalui keputusan MK yang mengakui bahwa, hak yang disebut hak adat itu milik masyarakat ada.
“Jadi perusahan ingin memiliki tanah itu yang harus dilakukan pertama kali adalah konsultasi,” ucapnya.
Sementara itu, Pemda Halteng melalui Ketua Tim Akejira, Mufti Murhum mengatakan pembahasan soal Akejira ini sudah dilakukan dua bahkan sampai tiga kali pertemuan dalam tiga bulan belakangan.
Pertemuan pemerintah kemarin, kata Mufti, untuk mendalami isu yang berkembang di media sosial dan media lokal di Halmahera Tengah dan Maluku Utara terkait dengan permasalahan Akejira.
"Poin dari agenda pertemuan ini adalah, pemerintah daerah mendengar apa yang menjadi masukan terhadap kondisi dan situsai yang dimiliki AMAN dan lembaga lainnya yang suda termasuk dari tim Akejira," ungkapnya.
Pemda Halteng akan menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut berdasarkan informasi yang disampaikan tentang status kawasan akejira.
“Terutama memastikan apakah kawasan akejira itu memang kawasan lindung atau kawasan yang konsesi WBN yang katanya mereka berpegang pada perpes yang di miliki. Sebab kawasan Akejira itu, secara status hukumnya sudah masuk di konsesinya WBN,” papar Mufti.
Terkait dua kelompok masyarakat di Akejira yang sudah keluar tinggal di Desa Trans Kobe Weda Tengah, dan sudah bekerja di WBN, tambah Mufti, menjadi poin penting yang juga ditindaklanjuti.
"Kita akan berupaya untuk menemui mereka kalaupun dua kelompok itu mau di berikan rumah maka Pemerintah daerah akan berikan fasilitasi itu semampunya," tuturnya.
“Setelah pertemuan ini tim akan melaporkan kepada Wakil Bupati dan selanjutnya kita akan menjadwalkan pekan depan untuk langkah-langkah berikutnya,’’ tutupnya.
Komentar