Parlemen

Dr. Graal Minta Kementerian ESDM Jeda IUP di Maluku Utara untuk Selamatkan Lahan

Dr. Graal saat rapat bersama Kementerian ESDM. Foto: Dok Pribadi

Komite II DPD-RI mengadakan Rapat Kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPD-RI.

Rapat ini dipimpin oleh Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, yang didampingi oleh jajaran Kementerian ESDM.

Pembahasan utama dalam rapat ini adalah program kerja Kementerian ESDM di tahun sebelumnya serta rencana program untuk tahun 2025.

Kolaborasi untuk Penyelesaian Masalah Sumber Daya Alam

Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si., anggota DPD-RI dari Maluku Utara, memberikan apresiasi terhadap keputusan Kementerian ESDM yang telah menarik izin usaha pertambangan yang tumpang tindih dan tidak produktif.

Dalam kesempatan ini, Dr. Graal menegaskan bahwa DPD-RI sebagai mitra kerja Kementerian ESDM siap berkolaborasi dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di lapangan, terutama di provinsi masing-masing.

Ia juga mengungkapkan telah menyiapkan dokumen yang berisi masalah dan rekomendasi solusi terkait sektor energi dan sumber daya mineral di Maluku Utara untuk diserahkan kepada Wakil Menteri ESDM.

Usulan Jeda Pemberian IUP di Provinsi Krisis Lahan

Salah satu usulan yang disampaikan oleh Dr. Graal adalah kebijakan untuk menjeda pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP), terutama di provinsi yang mengalami krisis lahan pertanian dan perkebunan.

“Di Maluku Utara, kami menghadapi krisis lahan pertanian dan perkebunan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertambangan. Krisis ini terjadi karena banyaknya IUP yang diberikan secara sembarangan pada masa lalu, saat kewenangan pemberian izin berada di Pemerintah Daerah,” kata Dr. Graal.

Ia juga menambahkan bahwa Kabupaten Taliabu sudah mengalami over-eksploitasi lahan, dengan hampir seluruh pulau diberikan izin pertambangan. Sementara itu, di Kabupaten Halmahera Tengah, sekitar 50 persen wilayahnya sudah menjadi area konsesi pertambangan, sedangkan lahan pertanian yang tersisa hanya sekitar 2.600 hektare.

Pose bersama Dr. Graal bersama rekan Komite II DPD RI dengan Kementerian ESDM. Foto: Dok Pribadi

Dr. Graal menegaskan bahwa kondisi ini dapat berakibat fatal terhadap ketahanan pangan daerah tersebut, yang berpotensi tidak dapat swasembada pangan dan harus mengimpor pangan dari luar daerah.

“Mengingat krisis pangan dan krisis lahan akibat alih fungsi lahan yang terjadi, apakah memungkinkan untuk menjeda pemberian izin pertambangan baru?” ujar Dr. Graal.

Pemetaan Lahan: Kunci Menghindari Konflik

Poin kedua yang diangkat oleh Dr. Graal adalah pentingnya pemetaan lahan sebelum pemberian izin pertambangan. Ia menyoroti sering terjadinya konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat adat, serta masyarakat lokal.

“Di Maluku Utara, misalnya, wilayah kehidupan masyarakat adat suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur tumpang tindih dengan lahan pertambangan. Selain itu, banyak lahan pertanian dan perkebunan warga yang bersinggungan dengan area pertambangan, seperti di Desa Sailal, Desa Baburino, Desa Buli Asal, Desa Cemara Jaya, Desa Pintatu di Kabupaten Halmahera Timur, serta Desa Bobo di Kabupaten Halmahera Selatan,” ungkapnya.

Dr. Graal juga menekankan bahwa lahan di Indonesia umumnya sudah dihuni oleh masyarakat, bukan lahan kosong. Hal ini berlaku pula untuk hutan yang diakui sebagai hutan adat oleh negara.

“Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi telah mengakui adanya hutan adat yang harus dilindungi. Oleh karena itu, sebelum IUP diberikan, penting untuk melakukan pemetaan lahan secara menyeluruh, mencakup lahan adat, hutan lindung, serta area pertambangan lainnya. Tanpa pemetaan yang jelas, tidak boleh ada IUP yang dikeluarkan,” tegasnya.

Mitigasi Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan

Dr. Graal, yang juga dikenal sebagai pegiat Politik Gagasan, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Ia menyoroti pencemaran yang terjadi di beberapa teluk di Maluku Utara.

“Kami di Maluku Utara memiliki tiga teluk—Teluk Obi, Teluk Buli, dan Teluk Weda—yang kini tercemar logam berat. Berdasarkan riset, ikan-ikan dari teluk-teluk tersebut sudah tidak layak konsumsi karena mengandung merkuri. Ini hanya sebagian kecil dari dampak ekologis yang terjadi,” jelas Dr. Graal.

Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk menegakkan kebijakan mitigasi terhadap kerusakan lingkungan melalui Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Pemerintah Pusat harus mengevaluasi pelaksanaan AMDAL dan mencabut IUP yang terbukti melanggar ketentuan atau mengabaikan aspek lingkungan,” tambahnya.

Respons Positif Wakil Menteri ESDM

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengapresiasi usulan dan perhatian yang disampaikan oleh Dr. Graal. Ia mengakui pentingnya perbaikan tata kelola dalam proses perizinan pertambangan dan berkomitmen untuk mempercepat integrasi sistem perizinan yang dapat mengurangi birokrasi berlarut-larut serta tumpang tindih izin.

“Kementerian ESDM berkomitmen untuk meningkatkan tata kelola lokasi dan pemetaan lahan sebagai prioritas, termasuk penegakan aturan terkait reklamasi pasca-tambang. Kami juga memastikan bahwa perusahaan pertambangan akan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan,” kata Yuliot.

Selain itu, Yuliot juga sepakat bahwa kebijakan mitigasi terhadap kerusakan lingkungan harus dilaksanakan dengan serius, termasuk kewajiban bagi perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan pemulihan pasca-tambang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dr. Graal menutup pertemuan ini dengan mengungkapkan komitmennya untuk mendukung tata kelola pertambangan yang lebih baik di Indonesia, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan.

“Kami siap mendukung kebijakan yang lebih baik dan memastikan bahwa keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama,” ujarnya sambil menyerahkan dokumen yang berisi masalah dan rekomendasi solusi.

Penulis: Qal
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga