Tajuk

Kebebasan Pers

Nurkholis Lamau : Jurnalis Gatra, Editor Cermat Partner Kumparan, Kru Jalamalut, dan Kurator Halmaherapost

21 Mei 1998, Presiden RI Soeharto lengser dari kursi kekuasaan. Memasuki era Reformasi, di era kepemimpinan B.J Habibie, kran-kran kebebasan berpikir yang tidak dirintangi rambu-rambu sensor, izin, atau larangan melalui media massa mulai dibuka.

Efek dari kebebasan ini memberi kesempatan terhadap setiap orang atau kelompok, untuk saling bersaing memenuhi kebutuhan informasi.

Seiring keterbukaan ruang informasi, baik di media massa atau media sosial, masyarakat juga punya kesempatan yang sama menyampaikan aspirasi maupun informasi. Baik itu opini, atau laporan warga (citizen report). Kendati informasi yang disampaikan bukan hasil karya jurnalistik.

Hari ini semua orang sudah miliki smartphone, sebuah alat komunikasi yang dilabeli 'cerdas.' Hampir setiap saat berjuta informasi bertebaran bebas di laman media sosial.

Di Facebook misalnya. Sejak dihadirkan Mark Zuckerberg dkk pada Februari 2004, layanan sosial berjejaring ini seakan menjadi ruang penghubung antar satu sama lain.

Dalam genggaman, kita sudah melihat seorang kakek di Perancis menikmati roti dan keju. Atau -- tanpa harus menjadi wartawan -- pun orang-orang sudah mampu menyebarkan sebuah peristiwa penting tanpa memerlukan jasa editor. Bervariasi dan beragam macam. Transparansi ditemukan di sini.

John Milton dalam gagasannya tentang; proses menemukan sendiri kebenaran dan kebebasan menjual gagasan, menjadi sentral dalam teori pers bebas.

Gagasan Milton dalam sistem pers bebas, bahwa pers dikontrol self-righting process of turth, lalu diperhadapkan dengan free market of ideas. Artinya, implikasi dari self righting process ini bahwa, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi. Dan setiap orang punya akses yang sama untuk menuju ke sana.

Singkatnya, kita sedang berada dalam sebuah zaman yang mengalami perubahan serba super-cepat. Kita juga sedang merasakan proses pengglobalan keadaan yang menyangkut hampir seluruh bidang kehidupan (Yasraf Amir Pilliang; Dunia yang Dilipat. Mizan 1998).

Marcel Danesi (Pesan, Tanda, dan Makna. Jalasutra 2010) mengatakan, terjadinya transisi dari representasi gambar ke suara, membuat tulisan menjadi lebih cepat dan efisien dari segi ruang yang terpakai.

Sayangnya, kecepatan teknologi terkadang mengantarkan kita -- termasuk wartawan -- berada pada posisi yang serba super-cepat, dan pada akhirnya menimbulkan ketidakakuratan dalam menentukan arah informasi.

Kemajuan teknologi membuat informasi menjadi berlebihan, sehingga mengurangi nilai atau kadar kualitas informasi itu sendiri. Di ruang redaksi, para editor tak lagi mengalami kekeringan atau kekurangan bahan. Editor bahkan menemukan kelebihan bahan.

Ironisnya, bagi konsumen media, informasi tak lagi mencerahkan. Tapi malah membingungkan. Bahkan menyesatkan. Belum lagi pada aspek tulisan. Alih-alih wartawan disebut pejuang bahasa, tetapi wartawan kerap turut merusak bahasa.

Kebebasan seakan menjadi 'boomerang' bagi perkembangan media massa di Indonesia. Kendati kebebasan pers adalah indikator kemajuan demokrasi suatu bangsa yang menjadi salah satu pokok jaminan hak asasi manusia (UU Nomor 39 tahun 1999, pasal 14).

Seringkali kebebasan dimaknai sebagai sesuatu tanpa batas. Maka pada akhirnya, kita terjebak dalam labirin gelap kekuasaan. Menjadi kuasa persepsi. Ketergantungan terhadap pemberitaan yang sifatnya sekadar sensasi.

Masyarakat, 'katanya' digiring menjadi masyarakat yang cerdas. Tapi tanpa disadari, dikonstruksi menjadi masyarakat yang ambigu dengan wacana tanpa batas dan tak menentu.

Seringkali wacana yang berkembang tidak disajikan dengan fakta real. Tapi hanya sebatas metaforik belaka. Dan kita kenyang dengan ketidakjelasan. Lalu, dengan terpaksa menelannya mentah.

Seharusnya, kekuasaan wacana dijadikan sebagai alat pencerdasan masyarakat. Menjadikan masyarakat lebih cerdas dan kritis. Karena seorang ilmuwan besar lebih mudah dimunculkan pada masyarakat yang gemar belajar dan menghargai ilmu. Dan masyarakat yang seperti itu lebih mudah dikondisikan oleh media massa yang menyebarkan opini yang konstruktif.

Sebab dalam belantara kultur media yang terbuka dan campur aduk, label informasi seringkali menipu ketimbang mencerahkan. Dan tak semua yang ditemukan di media publik adalah berita, meski ia dilabeli demikian.

Begitu juga semua berita. Itu sama. Berbagai macam media dengan sejumlah konten bukanlah jaminan norma, nilai, atau pendekatan bermutu.

Kini, kita mungkin menemukan model penyampaian berita yang saling bersaing dengan beragam nilai yang tersirat. Meski dalam kanal berita sama, situs website sama, dan bahkan di satu program TV, sama.

Tentunya, ini menjadi tantangan nyata bagi siapapun, termasuk wartawan, yang ingin tahu apa yang bisa dipercaya, sekaligus mengawali proses untuk mengetahui apa yang bisa dipercaya.

Penulis:
Editor: Red

Baca Juga