Opini
Ramadhan di Tengah Pandemi COVID-19

Kurang lebih seminggu lagi umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, namun, ramadhan tahun ini mungkin berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang disambut dengan penuh kegembiraan, menyiapkan segala sesuatu dari mulai mental hingga fisik setiap umat Islam.
Bulan ramadhan kali ini sedikit berbeda dikarenakan masih mewabahnya penyakit menular COVID-19, yang dalam data statistiknya pasien positif masih semakin meningkat dan saat ini sudah berada pada angka lima ribu lebih. Problematika ini membuat beberapa organisasi Islam Indonesia mendesak Kementrian Agama untuk mengeluarkan fatwa atau aturan serta anjuran agar dapat menjadi pedoman ibadah umat Islam untuk menjalankan ibadah ramadhan di tengah kondisi seperti ini.
Oleh karena itu, Kementrian Agama pun menerbitkan edaran terkait panduan ibadah Ramadhan bahkan sekaligus pada Idul Fitri 1 Syawal 1441 H nanti, jika saja pandemi wabah COVID-19 ini masih terus meningkat. Pedoman ini jangan dianggap oleh masyarakat sebagai gerakan untuk memarginalkan ibadah umat Islam pada saat bulan puasa, melainkan memiliki tujuan dan maksud untuk mencegah, mengurangi penyebaran, dan melindungi masyarakat muslim di Indonesia dari risiko COVID-19.
Jika dilihat pada panduan yang tertuang dalam surat edaran No 6 tahun 2020 tersebut, yang menyebutkan bahwa umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik berdasarkan ketentuan fikih ibadah, adalah bentuk pedoman yang umum yang telah diketahui banyak masyarakat. Sahur dan buka puasa yang biasanya dilakukan para muda-mudi dengan cara sahur on the road atau ifthar jama’i (buka puasa bersama). Namun, untuk masa kini dilakukan secara individu atau dengan keluarga inti.
Sedikit ketegangan pemahaman mungkin terjadi, dalam fase pedoman untuk melaksanakan shalat tarawih secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah, juga tilawah atau tadarus al-Qur'an dilakukan di rumah masing-masing. Dua pedoman ini mungkin terasa asing bagi masyarakat, apalagi bagi masyarakat Maluku Utara yang mungkin sudah terbiasa melakukannya dengan cara berjamaah, yang kemudian membuat mereka ada yang mengabaikan pedoman tersebut, atas dasar konteks penyebaran virus di daerah mereka yang masih tergolong rendah.
Hal ini mungkin dapat saja diterima, apalagi adanya doktrinitas lisan bahwa, untuk daerah Maluku Utara sendiri sebagai daerah Kesultanan, akan dijaga oleh sang Maha Kuasa. Di satu sisi, argumentasi ini dapat menjadi bahan untuk terus optimis akan terhindarnya penyebaran COVID-19 di daerah Maluku Utara, namun, di lain sisi juga dapat menimbulkan sikap egosentris masyarakat yang berlebihan, sehingga tidak ada langkah antisipasi dari masyarakat sendiri. Hal ini yang sering diingatkan Rasulullah kepada umatnya, lewat sabda beliau: "La dharara wala dhirara", jangan ada bahaya, dan jangan pula menyebabkan adanya bahaya. Masyarakat harus dapat menjauh dari bahaya dengan cara menghindari bahaya itu.
Dalam persoalan ibadah tarawih maupun tadarus di bulan Ramadhan, sama halnya dengan persoalan aksi penutupan masjid yang kemudian ditentang oleh beberapa masyarakat bahkan tokoh nasional. Kita harus memahami bahwa, dalam persoalan ini adalah agama juga membuka pintu kemudahan (rukhsah) saat terdapat kesulitan, dan pintu dharurah saat terdapat bahaya (darar) atau potensi dharar yang besar. Potensi dharar itu sudah jelas ada, karena ini adalah pandemi.
Sehingga, mereka yang mempertentangkan soal kebijakan ini, baik ulama, tokoh agama, takmir masjid/musholla, tokoh nasional, bahkan masyarakat biasa, mesti bijak dan waspada, dan pada saatnya harus membuka pintu darurat itu, yakni dengan cara menutup masjid dan mushalla. Apalagi pemerintah juga telah menetapkan suatu daerah masuk dalam zona kuning, apalagi zona merah. Hal itu perlu dilakukan, agar tidak terjadi bahaya dan kerusakan yang lebih besar, yakni tidak menyebarnya COVID-19 ini.
Implikasi untuk membuka pintu-pintu darurat ini, sejalan dengan pedoman yang diberikan oleh Kementrian Agama agar kegiatan seperti peringatan nuzulul Qur’an dalam bentuk tabligh dengan menghadirkan penceramah dan massa dalam jumlah besar, baik di lembaga pemerintahan, lembaga swasta, masjid maupun musala ditiadakan. Tidak melakukan i'tikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan di masjid atau mushola. Bahkan untuk pelaksanaan Shalat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di masjid atau di lapangan ditiadakan. Namun, hal ini masih menunggu terbitnya fatwa MUI menjelang waktunya.
Selain itu, agar umat Islam tidak melakukan kegiatan-kegiatan shalat tarawih keliling (tarling), takbiran keliling. Cukup dilakukan di masjid atau mushola dengan menggunakan pengeras suara dan tidak dalam jumlah yang banyak dan memperhatikan kondisi kesehatan masing-masing. Pesantren kilat juga ditiadakan, kecuali dilakukan melalui media elektronik. Silaturahim atau halal bihalal yang biasanya dilaksanakan ketika hari Raya Idul Fitri, dapat dilakukan melalui media sosial dan video call atau video conference. (namun hal ini, masih menunggu ketetapan lanjutan dari pihak Kementerian Agama maupun MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas.
Dari gambaran inilah kemudian, dapat kita ambil kesimpulan bahwa, pedoman yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama, merupakan salah satu bentuk upaya yang baik untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk nantinya. Tentu, masyarakat juga mempunyai nalar yang sama, bahwa jangan sampai masjid dijadikan sebagai sarang penyebaran penyakit, atau bisa saja masjid dijadikan kambing hitam jika terjadi bahaya dan kerusakan yang lebih besar nantinya. Kondisi seperti ini juga membuat masyarakat juga harus memahami dan memegang prinsip atau kaidah fiqhiyah, dar’ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan).
Komentar