Pemilu 2023

Trend Hoaks Jelang Pemilu 2024 dalam Cermatan Koalisi Cek Fakta

Jakarta – Selama Oktober 2023 isu politik terkait pemilu menjadi topik hangat yang menjadi perbincangan public. Mulai dari soal putusan Mahkamah Konstitusi terkait Batasan umur calon, menkopolhukam Mahfud MD yang resmi menjadi cawapres mendampingi Ganjar Pranowo, hingga soal Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden Jokowi yang akhirnya juga resmi menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Jumlah perbincangan terkait isu tersebut bahkan hampir mencapai 900 ribu di media social.

Dari banyaknya isu yang menjadi perbincangan hangat di publik ada beberapa isu yang terindikasi misinformasi dan disinformasi, yang menyerang para kandidat bahkan penyelanggara pemilu seperti soal tidak akan adanya tahapan debat capres-cawapres dan desain surat suara pilpres yang beredar.

Menurut pemimpin redaksi liputan6.com Irna Gustiawati dalam diskusi bulanan koalisi cek fakta, meski sudah terlihat banyak hoaks, namun saat ini belum ada hoaks yang dampaknya bisa menimbulkan permusuhan di masyarakat atau persekusi bagi kelompok minoritas.

“Permasalahan itu pernah terjadi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 atau pilpres 2019, dan pilkada di masa pandemik,” kata Irna dalam diskusi bulanan Koalisi Cek Fakta, pada Jumat 27 Oktober 2023, kemarin.

Dikatakan pula, upaya media dan pemeriksa fakta dalam memerangi hoaks jauh lebih baik dengan sajian verifikasi data dan fakta secara sistematis melalui berbagai platform. Turunnya jumlah produksi hoaks juga disinyalir karena kesadaran netizen dan masyarakat akan risiko, jika mereka memproduksi atau menyebarkan hoaks.

Namun, Irna mengingatkan agar waspada, karena dampak buruk dari hoaks yang sangat dahsyat berpotensi muncul di masa kampanye dan jika ada putaran ke-2 pilpres.

Dalam diskusi bulanan cek fakta, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas juga mengingatkan bahwa politisasi identitas dengan memproduksi misinformasi dan disinformasi sudah menjadi senjata atau cara sejak pemilu 2014 dan 2019.

“Jika itu digunakan untuk menyerang kelompok minoritas ini menjadi misinformasi/disinformasi yang paling berbahaya,” tegasnya.

Menurut Ika Ningtyas, berbagai bentuk monitoring informasi dan hoaks perlu diperbanyak agar menjadi alert awal untuk mengetahui apakah ada potensi narasi misinformasi/disinformasi yang membahayakan publik.

Di pemilu 2024 yang sudah di depan mata, jumlah pemlih pemula dan generasi muda memiliki peran penting karena jumlahnya menjadi mayoritas pemilik suara. Mereka yang disebut digital native sangat rentan terpapar hoaks yang memang banyak beredar di media sosial. Menurut direktur riset Poltracking Indonesia Arya Budi, berdasarkan riset yang dilakukan di bulan September, konten media sosial menjadi faktor penentu yang paling mempengaruhi pilihan. Facebook, Instagram, dan TikTok dianggap 3 platform yang paling berpengaruh diikuti youtube dan twitter.

Kerja-kerja media, kolaborasi dan peningkatan literasi sudah banyak dilakukan. Namun, satu hal yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana membongkar jaringan para buzzer atau produsen hoaks. Kerja-kerja nyata yang dilakukan media dan pemeriksa fakta harus berkelanjutan dan relevan untuk melindungi publik dari hoaks. Seperti kata ketua umum AMSI Wahyu Dhyatmika dalam sambutannya,”tujuan besar dari program cek fakta adalah memastikan proses pemilu yang sudah berjalan ini tidak diganggu oleh disinformasi dan misinformasi”.

Diskusi bulanan cek fakta merupakan kegiatan koalisi cek fakta yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), MAFINDO, dan 25 media yang tergabung dalam koalisi

Penulis: AMSI
Editor: Firjal Usdek

Baca Juga