Tajuk
Politik Algoritmatik
Di era disrupsi digital, politik elektoral mengalami perubahan signifikan dalam cara pemilih mempersepsikan identitas dan kapasitas kandidat. Terutama di Maluku Utara, dinamika ini semakin terlihat jelas ketika media sosial dan algoritma digital berperan besar dalam membentuk narasi politik yang lebih menonjolkan simbolisme identitas ketimbang kapasitas teknokratis.
Dalam konteks ini, kandidat politik menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan narasi identitas kultural, etnis, dan agama dengan kapasitas nyata untuk memimpin. Fakta tentang dua narasi itu telah terbukti dalam dua pesta elektoral di zaman “konvensional” selama 20 tahun terakhir. Kini, fakta narasi identitas dan kapasitas kembali diuji dalam politik electoral di era digital.
Echo Chamber Effect
Di era digital, pola konsumsi informasi berubah menjadi cepat dan dangkal. Pemilih cenderung terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka tanpa adanya analisis mendalam tentang kapasitas kandidat. Fenomena ini dikenal sebagai efek echo chamber, di mana algoritma media sosial memperkuat kecenderungan pemilih untuk menerima narasi yang sejalan dengan keyakinan mereka.
Menurut riset Cass R. Sunstein dalam Republic.com, media sosial memperkuat narasi identitas karena algoritma lebih mempromosikan konten yang memancing keterlibatan emosional, seperti konten berbasis identitas etnis, agama, atau kultural.
Di Maluku Utara, para kandidat politik memanfaatkan platform digital untuk membangun citra identitas yang kuat. Kampanye politik semakin terfokus pada psikografi—strategi yang menggunakan data demografis dan psikologis untuk menargetkan pemilih berdasarkan profil emosional mereka. Hal ini menciptakan kecenderungan di mana pemilih lebih terhubung dengan narasi identitas kandidat daripada mengevaluasi kapasitas teknokratisnya.
Penelitian oleh Clay Shirky, dalam bukunya Here Comes Everybody, menegaskan bahwa platform digital sebenarnya memiliki potensi untuk menciptakan ruang publik yang lebih inklusif dan transparan, namun potensi ini sering kali dibayangi oleh dominasi konten yang bersifat simbolik dan emosional. Di sinilah pentingnya peran institusi media dan pemerintah dalam membentuk regulasi yang lebih kuat untuk mengurangi disinformasi dan memperkuat akurasi informasi yang beredar di ruang digital.
Muhammad Kasuba dan Sultan Tidore: Bertumpu pada Identitas
Muhammad Kasuba, seorang tokoh suku Togale dan label ustad, menjadi salah satu kandidat yang secara semiotik kental-melekat identitas kultural dan agama. Sebagai ustad, Kasuba memiliki daya tarik kuat bagi pemilih Muslim di Maluku Utara, terutama di era digital di mana simbol-simbol keagamaan lebih mudah disebarkan melalui media sosial. Identitas kulturalnya sebagai bagian dari suku Togale juga memperkuat ikatan emosional dengan komunitas tersebut. Dalam psikologi massa, seperti yang dijelaskan oleh Gustave Le Bon, pemimpin yang memiliki identitas kuat dan karismatik memiliki daya tarik besar, khususnya dalam lingkungan pemilih yang lebih tergerak oleh simbol daripada analisis rasional.
Namun, tantangan bagi Kasuba adalah memastikan bahwa narasi identitasnya tidak menutupi kapasitas teknokratis yang ia miliki. Sebagai mantan Bupati Halmahera Selatan, ia memiliki pengalaman administratif yang penting, namun di era disrupsi digital, fokus pemilih seringkali teralihkan oleh narasi emosional yang viral di media sosial. Tantangan lain bagi Kasuba adalah citra buruk "Koruptif" sang kakak yang akan melekat di ingatan publik. Dalam politik serba alogartimatik, sepertinya Kasuba akan kesulitan menepis citra ini, terutama di kalangan generasi Milenial dan Gen Z, Maluku Utara.
Pasangannya, Basri Salama, dengan latar belakang kultural dari Tidore dan pengalaman politik di DPD RI, memberikan tambahan legitimasi kultural dan kapasitas teknokratis yang diperlukan untuk memperkuat narasi mereka di hadapan pemilih yang semakin kritis di era digital. Namun, untuk menghadapi pemilih yang lebih kritis, mereka perlu mengedepankan kemampuan administratif dan bukti konkrit dari kepemimpinan yang mereka tawarkan, karena tanpa kapasitas yang jelas, narasi identitas saja mungkin tidak cukup untuk memenangkan pemilih di era informasi yang semakin kompleks.
Sultan Tidore, Husain Alting Sjah adalah representasi dari warisan budaya yang mendalam, di mana Kesultanan Tidore memiliki legitimasi historis yang sangat kuat di Maluku Utara. Kesultanan tidak hanya menjadi simbol identitas kultural, tetapi juga menjadi pusat emosional bagi banyak pemilih yang masih terikat dengan tradisi lokal. Dalam kampanye Sultan Tidore, identitas akan menjadi pusat strategi politik, dengan Asrul Rasyid Ichsan, yang berasal dari suku Makian, memberikan daya tarik tambahan di segmen etnis yang berbeda.
Namun, dalam psikologi massa, pemilih tidak hanya merespon simbol identitas, tetapi juga mencari bukti kapasitas untuk memimpin. Pasangan ini menghadapi tantangan untuk tidak hanya mengandalkan simbol kultural, tetapi juga harus memperkuat narasi kapasitas teknokratis mereka. Tantangan lain bagi Sultan dan Asrul adalah mengembalikan semangat kultural secara imajiner yang sebelum sampai ke sanubari pemilih, minimal segera tiba pada jemari pemilih dengan kekuatan narasi yang alogaritmatik, sehingga dapat mengambil hati para pemilih. Di era digital, di mana informasi dapat dengan cepat menyebar, kapasitas untuk menangani isu-isu seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan menjadi sangat penting bagi keberhasilan elektoral. Ini akan menjadi PR besar dalam dua bulan terakhir bagi pasangan ini.
Antara Kekayaan dan Identitas Keluarga
Aliong Mus, Bupati Pulau Taliabu, menghadirkan dimensi yang berbeda dalam politik Maluku Utara. Nama keluarga "Mus" telah lama dikenal dalam politik lokal, dan identitas politis ini menjadi salah satu modal elektoral utama Aliong. Namun, dibandingkan kandidat lain, identitas kultural Aliong tidak terlalu menonjol. Sebaliknya, ia lebih dikenal karena sumber daya finansialnya (isi tas, red), yang sering kali dianggap lebih dominan daripada identitas atau kapasitas teknokratis.
Pasangannya, Sahril Taher, yang berasal dari suku Makian, menambahkan dimensi etnisitas yang memperkaya narasi identitas Aliong. Namun, tantangan utama yang dihadapi Aliong adalah kritik terhadap rekam jejak kepemimpinannya sebagai Bupati Pulau Taliabu.
Isu terkait keterbelakangan infrastruktur dan pelayanan publik di daerahnya menjadi sorotan negatif yang cepat menyebar di media sosial. Narasi kapasitas teknokratisnya cenderung tenggelam di tengah kritik ini, dan simbolisme identitas pun tidak cukup kuat untuk menutupi celah tersebut. Di sinilah pentingnya perpaduan yang seimbang antar narasi kapasitas-identitas, dalam mendongkrak elektabilitas, di sebuah pertarungan elektoral.
Andalkan Kapasitas dengan Tambahan Identitas
Benny Laos, sebagai mantan Bupati Morotai, dikenal karena kapasitas teknokratisnya yang kuat. Di bawah kepemimpinannya, Morotai mengalami peningkatan signifikan dalam sektor infrastruktur dan ekonomi. Benny membawa narasi kapasitas administratif yang lebih menonjol dibandingkan kandidat lainnya. Namun, di tengah arus disrupsi digital, narasi kapasitas teknokratis seringkali tidak memiliki daya tarik emosional yang sama kuatnya dengan narasi identitas.
Untuk mengatasi ini, Benny Laos menggandeng Sarbin Sehe, tokoh dari suku Makian, sebagai wakilnya. Sarbin membawa identitas etnis yang menambah dimensi kultural dalam kampanye mereka, yang diharapkan dapat memperluas basis dukungan di antara komunitas etnis. Dalam semiotika digital, narasi kapasitas teknokratis Benny Laos perlu diimbangi dengan simbolisme identitas Sarbin agar lebih relevan di mata pemilih yang cenderung terhubung dengan narasi emosional.
Tantangan di Era Digital
Di Maluku Utara, efek echo chamber media sosial memperkuat polarisasi identitas di antara para kandidat. Pemilih cenderung terjebak dalam siklus informasi yang hanya memperkuat afiliasi identitas mereka, baik itu kultural, agama, atau etnis, tanpa memberikan ruang untuk mengevaluasi kapasitas teknokratis kandidat secara objektif. Hal ini memperdalam fragmentasi politik, di mana dukungan terhadap kandidat lebih didasarkan pada simbolisme identitas daripada pada kemampuan nyata untuk memimpin.
Politik elektoral di Maluku Utara mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh kandidat dalam menavigasi antara narasi identitas yang kuat dan kebutuhan untuk menunjukkan kapasitas teknokratis. Muhammad Kasuba, Sultan Tidore, Aliong Mus, dan Benny Laos semuanya memiliki keunikan dalam kombinasi identitas dan kapasitas. Namun, di era disrupsi digital, di mana narasi emosional lebih mudah viral, para kandidat harus mampu membuktikan bahwa mereka tidak hanya memiliki simbol identitas yang kuat, tetapi juga kapasitas nyata untuk memimpin.
Dengan tantangan pembangunan yang kompleks di Maluku Utara, termasuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, kapasitas teknokratis tetap menjadi faktor penentu bagi keberhasilan kepemimpinan. Narasi identitas memang penting untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih, tetapi pada akhirnya, kandidat yang mampu menyeimbangkan identitas dengan kapasitas akan lebih mungkin berhasil di era digital yang penuh disrupsi.
Komentar