Opini

Kemenangan Sherly vs Kekalahan Sultan: Setengah Hati PDIP

M. Nofrizal Amir

Oleh. M. Nofrizal Amir
(Dosen Ilmu Komunikasi UMMU)

======================================
Siang di minggu kedua bulan Oktober 2024, publik Maluku Utara dikejutkan oleh peristiwa tragis di pelabuhan Bobong, Taliabu yang rasanya sukar sekali dipercaya. Kecelakaan speedboat Bela 72 yang ditumpangi Calon Gubernur Maluku Utara, Benny Laos, menyisakan duka mendalam.

Lain rencana manusia, lain pula rencana Tuhan. Benny Laos, sosok kontroversial nan misterius itu telah berpulang untuk selama-lamanya. Statusnya sebagai Calon Gubernur yang diprediksi bakal bersaing ketat dengan Sultan Tidore, Husain Alting Syah, menimbulkan spekulasi liar. Isu sabotase, konspirasi, kutukan dan kelalaian menggelinding di ruang publik.

Menteri Dalam Negeri sekaligus mantan Kapolri, Tito Karnavian sampai-sampai harus turun tangan memerintahkan Densus 88 untuk menyelidiki sebab kecelakaan yang menimpa teman dekatnya itu. Tak lupa, Tito pun berharap warga Malut tidak terpancing dengan isu yang dapat memecah belah masyarakat.

Terlepas dari jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, sosok Tito memang dikenal dekat dengan mendiang Benny Laos. Tito dalam kenangannya yang ia bagikan melalui rmol.id, mengatakan sosok mendiang merupakan teman ngopinya sekaligus teman main golf. Dua terminologi yang digunakan Tito itu, sudah cukup mewakili seperti apa kedekatan mendiang dengan Tito, tentu dekat nan akrab.

Tokoh terkemuka lainnya seperti Moeldoko pun tak ketinggalan berkomentar tentang sosok Benny. Kepala Staf Kepresidenan RI itu bertutur, jika ia begitu merasa sangat kehilangan seorang yang sangat baik – yang telah memberikan kontribusi luar biasa pada Kantor Staf Presiden sebagai Staf Khusus Kepresidenan.

Sebuah jabatan strategis nan mentereng yang disebut Moeldoko itu, sekejap meyingkap betapa kalibernya Benny Laos. Selain timbunan harta yang menggunung, Benny juga punya jejaring berlapis dan jabatan yang menggoda, toh orang sekelas Tito Karnavian bisa jadi teman ngopinya. Walau Benny bukanlah orang Maluku Utara pertama yang mengemban jabatan sebagai KSP, tercatat Donny Gahral Adian mungkin yang pertama. Namun Benny rasanya berbeda, KSP-nya tak terdengar, benar-benar senyap juga tersembunyi.

Pengganti yang Sepadan

45 hari menuju pencoblosan pasca kematian Benny Laos, mengharuskan delapan partai politik pendukung untuk memutar otak mencari penggantinya. Sepadan, selevel, berkelas dan populer, tentu menjadi variabel determinatif untuk menentukan siapa yang berhak mengisi kekosongan yang ditinggalkan Benny Laos.

Namun rasanya tidak ada yang selevel, pun sepadan untuk menandingi popularitas dan elektabilitas mendiang Benny, selain istrinya sendiri, Sherly Tjoanda. Mewarisi harta menggunung dan bermodalkan pengalaman selalu mendampingi suaminya dalam urusan-urusan politik, Sherly rasanya adalah pilihan yang tepat nan jitu untuk berhadapan dengan kontestan kuat lainnya, seperti Sultan Tidore, Husain Alting Syah.

Alhasil nama Sherly sebagai pengganti Benny Laos, terkonfirmasi melalui pendaftaran secara resmi ke KPU Malut. Dalam kondisi yang masih payah, Sherly melalui informasi Tito Karnavian menyebut bahwa, ia Sherly akan menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.

Memang selain Benny Laos, Tito juga mengakui bahwa ia dan istrinya memiliki hubungan baik dengan Sherly Tjoanda. Bahkan Tito secara terang-terangan memuji Sherly sebagai wanita cerdas, aktif berorganisasi, serta bukan ibu rumah tangga biasa. Keterangan itu keluar dari mulut Tito, sebelum Sherly secara resmi menggantikan mendiang suaminya sebagai Calon Gubernur.

Setelah Tito berkomentar, gelombang aksi protes dan tuduhan pun kian menjadi-jadi. Eks Komisioner KPU, akademisi hingga aliansi masyarakat langsung bersuara, mengkritik KPU Malut dengan lantang. KPU Malut dicurigai bersikap diskriminatif pada calon lain dengan pemberlakuan istimewa terhadap calon gubernur Sherly Tjoanda. Mengakomodir hasil pemeriksaan kesehatan Sherly yang dilakukan di Jakarta dan bukan di Ternate, dibaca sebagai penerjemahan atas keterangan Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, tanpa perlu menyebut itu kode perintah untuk KPU Malut.

Nalar komparatifnya begini, jika yang menginformasikan ke publik adalah Rahmi Husen, ketua tim pemenangan Sherly-Sarbin dan bukan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, maka pikiran publik tak akan melayang kemana-mana. Sama halnya jika yang meninggal itu Muhammad Kasuba, Aliong Mus atau Husain Alting Syah, maka mungkin Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dan KPU Malut sikapnya pun bisa jadi berbeda. Wallahu wallam.

Kritik di media massa berganti aksi turun ke jalan, nyatanya tak berarti apa-apa. Sherly telah ditetapkan dan era baru bagi peradaban politik Maluku Utara sepertinya akan dimulai. Sherly yang perempuan, Sherly yang Tionghoa dan Sherly yang Kristen Protestan, berhasil meretas garis demarkasi yang tebal – yang selama ini sudah mengakar, status quo. Sherly dengan segala status ontologik yang melekat padanya, kini dapat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di atas panggung politik kosong satu Maluku Utara.

Dramaturgi Sherly

Setibanya di Ternate, konferensi pers dilakukan. Sherly didampingi ketua tim pemenangan, Rahmi Husen, serta sejumlah pengurus partai politik pengusung, muncul dengan kursi roda dan dipenuhi balutan perban dikakinya. Tampilan dilayar kamera, benar-benar buat publik menaruh iba, betapa spirit seorang perempuan yang sedang melanjutkan perjuangan suaminya untuk negeri Maluku Utara, walau ditengah kondisi badan dan psikis yang benar-benar payah.

Sejurus, peta konfigurasi politik yang berubah secara tiba-tiba, sepertinya buat lawan-lawan politik Sherly sakit kepala. Sherly dan timnya distempel sengaja mengeksploitasi kesedihan sebagai komoditi politik. Hampir setiap hari, konten-konten tentang Sherly yang dibingkai dengan kesedihan dan nestapa, berseliweran di berbagai platform media sosial.

Pemanfaatan media komunikasi seperti Facebook dan Instagram oleh Sherly cukup beralasan. Dengan modal pengikut di akun Facebook sebanyak 73.032 dan Instagram 318 ribu, maka sekali klik saja Sherly dapat menjangkau audiens yang luas, dapat berinteraksi secara langsung, terlebih membranding dirinya sendiri.

Pembingkaian yang tepat dan akurat dalam konten-konten milik Sherly, mampu mengetuk dinding kesadaran masyarakat Maluku Utara untuk merasakan apa yang dirasakan oleh Sherly dan anak-anaknya. Hasilnya dukungan dan dorongan juncto doa dikirimkan untuk Sherly dan anak-anaknya untuk melanjutkan perjuangan mendiang Benny Laos.

Dengan wajah yang masih terdapat bekas kecelakaan tragis di Bobong, Sherly tampil memukau. Sherly terkesan compang-camping, tampil tanpa make-up pun pakaian biasa-biasa saja dan jauh dari gaya ala ibu-ibu sosialita istri pejabat. Namun Sherly tetaplah Sherly, si-cantik yang mempesona tak lekang dimakan usia.

Sherly mengerti apa yang diteorikan Erving Goffman, bahwa kehidupan sosial dapat dianalogikan dengan teater, di mana individu adalah aktor yang berperan di depan "penonton" dalam berbagai situasi. Penggunaan emosi, terutama kesedihan oleh Sherly, tentu memiliki nalar pembenarnya, yakni untuk meningkatkan keterhubungan emosional dengan pemilih.

Entahlah, Sherly mungkin dituduh mengeksploitasi kesedihan dan manipulatif untuk mendapatkan perhatian atau simpati. Namun latarbelakang performa Sherly, tentu bukan sekedar momen tiba saat, tiba akal. Konsep ini disebut Pierre Bourdieu sebagai habitus, sebuah sistem disposisi yang menempa dan membentuk Sherly hingga distempel berbagai rupa. Habitus Sherly bukanlah sesuatu yang bersifat statis, melainkan entitas yang terus berkembang dan beradaptasi dan tetap memberikan struktur terhadap cara Sherly berinteraksi dengan dunia.

Walau memang, akting Sherly akan mengaburkan perbedaan antara identitas yang dibentuk oleh ekspektasi sosial dan identitasnya yang lebih autentik, per se. Franz Kafka menyebut, hidup seringkali dianggap sebagai sebuah “pesta bertopeng”, bahwa setiap diri kita termasuk Sherly, kerap menyembunyikan keaslian dan menampilkan citra tertentu untuk diterima masyarakat. Namun apapun itu, Sherly telah dianggap sukses mempengaruhi pikiran publik.

Warisan Berharga Mendiang Suami

Tak berlebihan jika ada anggapan, bahwa Sherly benar-benar menikmati buah dari kerja keras mendiang suaminya, Benny Laos. Diakui, sosok almarhum sejak beberapa tahun terakhir, sudah gas full, bergerilya dan melanglangbuana, menjahit relasi sosial di Maluku Utara.

Yayasan Bela Peduli jadi contoh bagaimana kegiatan filantropi membentuk citra kedermawanan seorang Benny Laos, laki-laki minoritas ditengah kepungan mayoritas. Bantuan bagi pembangunan rumah-rumah ibadah, orang miskin, pengobatan gratis, even olahraga, pencarian bakat dan sederet kegiatan sosial lainnya, sukses mempengaruhi isi kepala orang Maluku Utara.

Meskipun filantropi Benny Laos tidak cukup untuk menanggulangi masalah kemiskinan struktural, sebagaimana kritik Tomi Lahren yang mengatakan bahwa filantropi hanya menyembunyikan kegagalan struktur ekonomi dan berfungsi untuk menjaga status quo. Namun kritik apapun itu, bantuan sosial Benny Laos melalui Yayasan Bela Peduli akan selalu dikenang sebagai sebuah kebaikan jariyah, tanpa embel-embel lain yang mengekor.

Maka benarlah apa yang disabdakan oleh almarhum Gusdur, “tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu”. Dan sampai hari ini, semua kemewahan itu sungguh dinikmati Sherly, hingga tiada tanya tentang minoritasnya.

Kisah ini diabstraksikan oleh Hendro Prasetyo, peneliti utama Indikator melalui dalil, bahwa kepercayaan publik kepada mendiang Benny Laos, publik menilai suami istri biasanya dianggap dan memiliki nilai sama, manifestasi suami ada pada istri dan Sherly menjadi representasi Benny Laos untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi faktor kuat munculnya simpatik publik.

Benny dan Sherly telah lama berproses menjadi satu entitas yang lebih tinggi - tidak lagi sekedar dua entitas terpisah, tetapi mereka berkembang menjadi kesatuan yang lebih besar, termasuk visi politik. Ibarat peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi”, Sherly yang dibekali mental politik dan nama besar yang melekat padanya selama mendampingi hidup mendiang suaminya, dipercaya mampu melanjutkan ambisi mendiang suaminya. Lagi pula infrastruktur pemenangan politik, semisal konsultan politik yang diarak langsung dari Jakarta, tim sukses yang solid, serta jejaring yang tak main-main telah lengkap dan tinggal dimaksimalkan Sherly.

Perkara mental politik, suami Sherly sudah teruji. Calon Wakil Gubernur Maluku Utara namun gagal, calon Bupati Pulau Morotai dan terpilih – dan 2024 kembali bertarung sebagai calon Gubernur. Perihal nama besar, tahulah orang Maluku Utara, siapa itu Benny Laos. Soal siapa yang mensiasati kemenangan, konsultan politik Zulkarnain Mallarangeng adalah orangnya. Untuk tim sukses, jangan ditanya; terbentang dari ujung pulau Morotai hingga ke Pulau Taliabu. Jejaring? Ah pertanyaan macam apa itu? Toh Tito Karnavian saja teman ngopi Benny Laos!.

Jalan yang telah diretas mendiang Benny, ibarat jalan tol di Jawa; tinggal dilintasi dan mungkin perlu sedikit mendapat perawatan. Survei elektabilitas oleh Pusat Studi Demokrasi dan HAM (Pusdiham) jadi bukti betapa berbahayanya Benny Laos. Sehari sebelum Benny Laos dinyatakan meninggal dunia, pasangan calon Benny-Sarbin jauh mengungguli ketiga pasangan calon lainnya sebesar 40,8%.

Pasca Sherly menggantikan posisi Benny Laos, peta perolehan elektoral makin melaju tak terkawal. Rilis lembaga Survey Indikator Politik Indonesia mengumumkan, Sherly-Sarbin puncaki elektabilitas sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, sebesar 47,5 persen. Hasil ini tentu bukan kebetulan semata, apalagi keberuntungan belaka. Ini kerja keras yang melibatkan peran saintifik dan lemahnya lawan politik yang dihadapi. Harus diakui, Paslon Sherly-Sarbin memanfaatkan pola politik modern yang diaplikasikan dengan baik di tengah anomali peta sosiologis Maluku Utara yang katanya melulu berbasis pada identitas.

Sapu Rata dan Tuduhan Kecurangan

Kemenangan di depan mata, tak buat Sherly dan timnya berbesar kepala. Konsolidasi tetap berlanjut, tak terkecuali beberapa pejabat teras di Provinsi Maluku Utara. Sebut saja Pejabat Sekretaris Daerah Malut, Abubakar Abdullah. Pada masa tenang, ia Abubakar secara terang-terangan membagikan foto Sherly-Sarbin di Grup WhatsApp bernama IKA PMII Maluku Utara.

Lain jabatan, lain gaya mainnya. Begitulah yang dilakukan oleh Kepala Kemenag Halmahera Utara, Abdurahman M Ali yang kesannya rada-rada brutal. Abdurahman secara eksplisit mengkampanyekan Sherly-Sarbin dengan menggunakan Pancasila sebagai kode khusus. Menurutnya dihadapan pegawai Kemenag Halmahera Utara dalam video yang beredar, bahwa untuk Provinsi, kita berada disila keempat, sebab disitu ada orang Kementerian Agama.

Kontraktor pun tak ketinggalan ambil bagian. Zibang Iskandar Alam dalam rekaman suara yang beredar di jagad maya, terekam menginstruksikan Kepala SMA Negeri 12 Halmahera Timur dan Kepala SMK Negeri 10 Kepulauan Sula untuk mengumpulkan para orang tua siswa agar memilih paslon Sherly-Sarbin. Anehnya dalam penggalan dialog, Zibang menggunakan istilah adanya campur tangan Komandan yang menunjuk pada Kepala Dinas Pendidikan Malut, Damrudin.

Ketiga kasus itu menjadi premis minor yang melatari lahirnya konklusi atas tuduhan adanya intervensi kekuasaan untuk melapangkan jalan Sherly menuju puncak Gosale. Kiriman foto Sherly-Sarbin oleh Pj Sekda Malut ke WA Grup IKA PMII, tentu punya alasan tersendiri, tidak sekedar alasan salah kirim sebagaimana yang diingkarinya. Begitu pula kampanye tertutup Abdurahman M. Ali, tak mungkin tanpa kepentingan yang mendasarinya.

Puncaknya, penolakan saksi tiga pasangan calon dalam pleno rekapitulasi ditingkat provinsi dengan yang substansinya tercatat mirip-mirip, yakni money politic, pengerahan ASN dan kecurangan lain oleh tim Sherly-Sarbin. Bahkan KPU Malut pun tak lepas dari tuduhan tidak sesuai prosedur ketika menetapkan Sherly-Sarbin sebagai pemenang pilgub. Saksi ketiga paslon dipertemukan pada kepentingan yang sama “Sherly-Sarbin berbuat curang dan harus didiskualifikasi”.

Eksklusivitas Tim HAS dan Perjuangan Setengah Hati PDI Perjuangan

Pada awalnya sikap Sultan Tidore, Husain Alting Syah untuk mengikuti kontestasi pilgub Maluku Utara, dianggap dapat memantik semangat kultural masyarakat. Terbukti, hasil survei di masa-masa awal pencalonan, Sultan yang mengendarai partai berlabel Banteng, PDI Perjuangan, PKN dan partai Ummat unggul dari lawan politik lainnya.

Bisa dibilang, Sultan Tidore tanpa berkampanye pun telah memiliki pendukung ideologis yang tersebar di Kabupaten/Kota di Maluku Utara. Sultan, sebuah otoritas tradisional yang benar-benar sakral dan sekian lama menyejarah. Namun otoritas dan sakralitas dari gelar Sultan itu tak menjamin Sultan akan memenangkan pertarungan Pilgub yang diisi oleh si kaya raya Benny Laos.

Tanpa bermaksud mengkerdilkan posisi kosong duanya, Asrul Rasyid Ichsan, namun modal sosial Sultan Tidore, dirasa sudah cukup untuk mendulang suara di kantong-kantong adat. Sebaran wilayah kultural kerajaan Tidore dan komunitas Islam, dianggap bisa menjadi basis pangkal raihan suara di pilgub. Meskipun ada calon lain seperti Muhammad Kasuba dan Aliong Mus, namun rasanya personality Sultan Tidore lebih menjanjikan dan lebih bisa diharapkan.

Sumber politik yang dimiliki Sultan, tentu dan mesti dimanfaatkan oleh tim pemenangan, terlebih partai politik sekelas PDI Perjuangan. Sayangnya bulan berganti bulan, grafik elektabilitas Sultan Tidore kian merosot. Selain lemahnya konsolidasi dan mungkin saja menipisnya basis anggaran, faktor dominasi muka-muka lama yang asalnya dari tempat asal Sultan Tidore dalam tim pemenangan, dicurigai jadi penyebabnya.

Tercatat posisi strategis, seperti ketua Tim Pemenangan, Ketua Relawan, Ketua Media Center hingga Ketua Projou, semuanya berasal dari Tidore. Bahkan tempat diselenggarakannya Maklumat Kieraha pun dipusatkan di Tidore. Aneh bin ajaib memang, Husain Alting Syah yang mestinya dibranding sebagai milik orang Maluku Utara tanpa terkecuali, dipersempit kebesarannya oleh satu-dua orang yang fanatiknya dengan semangat ke-Tidore-an. Padahal kapasitas personality Sultan, rekam jejak dan nama besar kerajaan Tidore secara elektoral, dimungkinkan diterima oleh lapisan masyarakat Maluku Utara.

Di ruang publik, orginalitas dan otentikasi Sultan Tidore tak tertandingi. Sultan yang sedari sononya dikenal sederhana, tegas, tenang dan tuturnya terdengar menyejukkan itu terbilang konsisten, tak begeser seinci pun. Namun di menit-menit akhir masa kampanye, citra Husain Alting Syah sebagai Sultan yang perangainya dikiblati masyarakat, tercederai dengan penggunakan kata-kata sarkas yang ditujukan untuk Sherly. Berhasil-lah sudah Choel Mallarangeng dalam operasi jarak jauh untuk mengganggu psikologis Sultan, setelah Aliong Mus-Basri Salama dan Muhammad Kasuba-Sahril Thahir sudah merasakannya lebih dulu.

Momen Sherly melepas tongkatnya yang sering ia pakai saat foto bersama pasca debat di Kompas TV, aksi joget wayase dalam kampanye, serta Sherly saat turun dari pesawat yang menggunakan kursi roda dan kakinya yang sudah terbungkus dengan perban, jadi trigger dari kalimat Sultan dalam video pendek yang beredar “ini penipuan, minta dikasihani dengan cara-cara begitu, supaya orang p aer mata jato, dia me iko manangis. Ini perempuan bagaimana kong ngoni bilang cantik? Ini penipu. Perempuan-perempuan Tidore, Perempuan-perempuan Ternate, perempuan-perempuan yang ada di Maluku Utara adalah perempuan yang punya martabat dan bukan tukang tipu model deng dia”. Padahal sadar tak sadar, rentetan aksi Sherly itu merupakan manipulasi emosional yang targetnya adalah Sultan yang terkenal sebagai pribadi tenang.

Hal ini diperparah dengan perjuangan setengah hati PDI Perjuangan. Kesimpulan ini bukan tanpa asbab, apalagi sekedar mengira-ngira. Capaian suara pada hari pencoblosan membuktikan itu. Basis suara PDI Perjuangan di Tidore Kepulauan yang berhasil meraih 12 kursi di DPRD, nyatanya tak berbanding lurus dengan jumlah suara Sultan dan Asrul. Walaupun Sultan unggul dari Sherly secara angka-angka, namun Sultan benar-benar kalah secara politik. Raihan 12 Kursi di DPRD dan kapasitas sebagai Sultan Tidore adalah alasan yang paling masuk akal untuk menyimpulkan kesekian kalinya, bahwa Sultan kalah secara politik dikandangnya sendiri.

Halmahera Timur dan Halmahera Tengah lebih parah. Dikenal sebagai bagian dari wilayah kultural kerajaan Tidore, nampaknya tak berpengaruh signifikan. Dua wilayah ini, Sultan tak hanya kalah secara politik, namun juga kalah secara angka-angka. Serupa tapi tak sama terjadi pula di Halmahera Barat. Margin suara antara Sultan dan Sherly yang cukup jauh, tak dapat dipungkiri lagi kalau Irine dan mesin PDI Perjuangan tidak benar-benar hidup, alias setengah hati dalam meladeni kekuatan Sherly-Sarbin bersama delapan mesinnya.

Konfigurasi politik pasca kematian Benny Laos yang digantikan oleh Sherly, membuat preferensi pemilih berdasarkan identitas kian terbelah, terkecuali komunitas Kristen. Selain koalisi gemuk parpol yang mendukung Sherly-Sarbin, kesadaran eksistensial komunitas Kristen Maluku Utara terbentuk dan dianggap solid dalam mendukung Sherly-Sarbin, tanpa perlu menyebut didalamnya termasuk kader PDI Perjuangan.

Kecurigaan ini berangkat dari temuan survei LS Indikator 13-19 November 2024 yang menemukan perilaku pemilih berdasarkan sentimen agama yang memilih calon berdasarkan agamanya sama sebesar 24,1%, sedangkan yang tidak mempermasalahkan calon berlatar agama yang sama, yakni sebesar 70,8%. Persentase itu diteliti Indikator melalui jumlah responden dengan profil demografi berdasarkan kategorisasi agama Islam sebesar 74,3%, sedangkan kategori lainnya sebesar 25,7%.

Jika dianalisa marginnya, ditemukan jumlah sampling kategori agama lainnya sebut saja Kristen sebesar 25,7% dengan kecenderungan memilih berdasarkan agama yang sama sebesar 24,1%. Sedangkan sampel dengan kategori agama Islam sebesar 74,3%, cenderung terbelah dengan preferensi pilihannya tidak berdasarkan agama sebesar 70,8%.

Terbentuknya kesadaran eksistensial itu tidak lahir dari ruang kosong. Hasil survey, peta politik dan modal politik Sherly, menuntun kesadaran eksistensial saatnya Kristen yang minoritas memimpin Maluku Utara. Henri Tajfel, seorang psikolog sosial asal Polandia-Inggris menyebut fenomena ini sebagai fenomena In-Group Bias. Keadaan ketika orang cenderung lebih memilih mereka yang tergabung dalam kelompok mereka (in-group), baik berdasarkan identitas sosial, etnis, agama, atau afiliasi politik. (*).

Penulis:

Baca Juga