Kebudayaan

Festival Gravity, Cara Melestarikan Budaya dan Menjaga Alam ala Komunitas

Salah Satu Tarian Teatrikal yang ditampilkan dalam Festival Gravity || Foto : Tat/Hpost

Sanana, Hpost – Sabtu malam 7 November 2019 akhir pekan kemarin, ratusan anak muda dari berbagai komunitas memadati Cafe Blok Gravity di Sanana Kepulauan Sula. Mereka hadir untuk menyukseskan Festival Gravity yang diberi tema “Culture and Nature”.

Di Cafe yang berada di Desa Fagudu Kecamatan Sanana itu, para pelajar dan remaja bergantian menyajikan penampilan musik akustik, gambus, puisi, pantun, dan kebolehan melukis. Tak ketinggalan ada yang menampilkan musik bergenre HiHop dan Beatbox.

“Lewat festival ini masyarakat Sula diharapkan bisa lebih peka terhadap lingkungan dan budaya yang sudah mulai hilang. Oleh karena itu kita sengaja buat festival ini agar ada kesibukan berkomunitas. Secara umum, ini menjadi tempat untuk saling berbagi tentang apa yang kita dipelajari,” kata Penyelenggara Kegiatan Wani Buamona, saat diwawancarai usai pembukaan Festival Gravity, Sabtu malam kemarin.

Wani mengatakan, kegiatan festival tersebut akan menjadi ruang baru bagi generasi muda Sula untuk bertukar ide dan gagasan. Ia tak menyangka, festival tersebut mendapat respon yang baik dari berbagai komunitas.

“Antusias peserta banyak sekali. Yang terdata di kami berkisar 250 orang. Banyak peserta dari pelajar peserta dari SMA (osis). Ada juga LSM seperti Walhi."

Selain pentas musik dan puisi, kata owner Gravity, Irawan Duwila, kedepan ada juga ronggeng gala photograpi, dialog dan diskusi, stand up comedygravity learning center, gravity sdudy tour to Wailoba, choatcing musik hip hop oleh Zein Panzer, berbagi dan bedah lirik lagu bersama Sombanusa, serta Workshop coffe dan barista bersama Block Gravity.

Sejumlah anak-anak sanggar yang berlatih menabuh rebana untuk ditampilkan pada Festival Gravity || Foto : Istimewa

“Kegiatan ini lebih pada pelestarian budaya tapi dikonsepkan untuk semua kalangan bisa masuk di dalamnya, anak muda, remaja, mahasiswa semua bisa masuk. Disini karya dan bakat diapresiasi. Kegiatan berjalan hingga 31 Desember 2019 nanti,” kata Irawan.

Menurutnya, Festival Gravity dibuat karena ada keresahan luar biasa tentang alam dan budaya di Kepulauan Sula. Seperti kerusakan alam di Wailoba dan juga Taliabu, lanjut Irawan, perlu mendapat perhatian seluruh masyarakat termasuk pegiat komunitas dan sangar budaya.

“Pelestarian alam dan kebudayaan bagi kami itu hal yang luar biasa perlu untuk dikampanyekan. Soal kebudayaan Sula, misalnya gambus mulai hilang dan ditinggalkan anak muda," ungkapnya saat diwawancarai Halmaherapost.com.

Khusus untuk pentas budaya, pihaknya menjadwalkan setiap Sabtu malam.

"Hari ini katong (kita) lihat ronggeng dan gambus itu ada. Itu hanya orang tua-tua yang pukul rabana kalau seng (tidak) dong putar kaset, tapi anak anak muda yang pukul bahkan anak kacil yang pukul, itu so seng ada lagi. Tong (kita) takut 30 sampai 40 Tahun kedepan akan hilang. Apalagi cuma pake kaset, itu menurut katong sangat berbahaya. Lagu takbir saja orang bisa bikin lagu DJ, apalagi gambus sama ronggeng," keluh Irawan.

Sementara mulai pekan depan, rangkaian festival dilanjutkan dengan kegiatan pendidikan di desa Wailoba.
Kegiatan itu bertujuan menginspirasi anak-anak desa dan masyarakat Wailoba. Turut hadir di kegiatan pendidikan itu yakni dari kalangan dosen, pengacara serta sukarelawan dari instansi pemerintah.

“Sekarang sudah 15 orang yang mau jadi relawan untuk ikut ke Wailoba, hanya untuk memberikan inspirasi ke anak-anak lebih giat belajar dan memotivasi mereka untuk sekolah lebih tinggi demi masa depan yang cerah,” ucapnya.

Panitia Festival, tambah Irawan, membuka pendaftaran bagi yang mau terlibat dalam kegiatan tersebut dengan cara mendaftar di Instagram, blockgravity. “Itu terbuka untuk umum. Silahkan masuk di instagram blockgravity ada semua kegiatan disitu.”

Irawan mengaku Festival Grafity terlaksana tanpa sponsor pemerintah. Support dana ia peroleh dengan menyisipkan uang dari pendapatan Cafe Blok Gravity. Pihaknya hanya menggandeng media.

“Untuk support itu dari teman-teman wartawan, kemudian ada patner yakni penggerak pendidikan."

Festival ini, papar Irawan, juga melibatkan komunitas literasi penggerak pendidikan seperti Tinta Manuru Waitamua, Gerakan Sula Membaca yang sudah rutin diselenggarakan setiap minggu.

“Ada Sahabat Baca dari Fokalik kase belajar anak SD kelas 1-6 tidak bisa membaca. Ada dari Mangoli, Rumah Baca Kabau, Literasi Wailoba, "tegasnya.

Irawan berharap kedepan anak muda akan sadar dengan kerusakan alam, begitupula dengan budaya harus dilestarikan.

“Agar dalam kegiatan ini setidaknya satu atau dua orang bisa merasakan manfaat. Dan memulai perubahan dari hal hal kecil,” ucapnya.

Penulis: Hartati Panigfat
Editor: Red

Baca Juga