Survey Litbang
Peta Potensi Politik Uang Pilgub Maluku Utara di Kota Ternate: Bawaslu Perlu Zonasi
Survei terbaru dari Litbang Halmahera Post menunjukkan bahwa mayoritas pemilih Ternate menolak politik uang menjelang Pilgub Maluku Utara 2024. Sebanyak 70,9% warga menyatakan sikap tegas menolak praktik ini, sementara 27,5% warga masih membenarkannya.
Jufri Abubakar, Direktur Litbang Halmahera Post, menilai angka 27,5% sebagai sinyal serius. "Angka ini bukan sekadar statistik; ini mencerminkan realitas bahwa politik uang telah terinternalisasi dalam dinamika sosial kita. Ini bukan insiden sesaat, tetapi bagian dari cara pandang sebagian pemilih terhadap demokrasi," tegasnya.
Survei Litbang Halamherapost melibatkan 440 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah Kota Ternate. Survei ini menggunakan margin of error sebesar 4,8% dan tingkat kepercayaan 95%.
Alasan di Balik Penerimaan Politik Uang
Survei juga mengungkapkan beberapa alasan di balik penerimaan politik uang. Sebanyak 50% responden yang menerima uang politik mengaku terpaksa karena kebutuhan mendesak, 22% mengatakan sudah menjadi kebiasaan, sementara 8% menerima uang karena ancaman, dan 15% hanya ikut-ikutan.
"Pemilih yang terpaksa menerima uang karena kebutuhan mendesak menjadi kelompok yang rentan dalam praktik politik uang. Ini menjadi tantangan bagi semua pihak untuk mengedukasi dan memberikan kesadaran politik yang lebih baik pada Pilkada di Kota Ternate," tambah Jufri.
Baca juga:
Peta Suara Suku pada Pilgub Maluku Utara di Kota Ternate
Peta Suara Milenial dan Gen Z Pilgub Maluku Utara di Kota Ternate
Survey: Husain Alting dan Benny Laos Bersaing Ketat di Kota Ternate
Sikap Pemilih Terhadap Politik Uang
Jufri juga menguraikan perbedaan mencolok dalam sikap pemilih terhadap politik uang di antara pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate.
Pasangan calon Aliong Mus dan Sahril Taher (AM-SAH) memiliki tingkat penolakan politik uang tertinggi di kalangan pemilih mereka, dengan 75,6% menolak dan hanya 22,0% yang membenarkan. "AM-SAH, cenderung berada pada basis Golkar yang dikenal cukup mengakar di akar rumput," kata Jufri.
Pasangan Benny Laos dan Sarbin Sehe (Bersama) hampir setara dengan AM-SAH dalam hal penolakan politik uang, yaitu 75,9%, namun tingkat penerimaan politik uang sedikit lebih tinggi di kalangan pemilih mereka, yakni 24,1%.
Pasangan HAS-ARI menunjukkan angka tertinggi dalam penerimaan politik uang, dengan 33,0% pemilih membenarkan dan 65,4% menolak. "Ini mengindikasikan bahwa politik uang mungkin lebih mengakar di basis pendukung HAS-ARI. Ini rentan diganggu oleh pasangan lain," kata Jufri.
Pasangan MK-BISA memiliki penolakan politik uang tertinggi, dengan 76,2% menolak dan 19,0% membenarkan. "Ini menunjukkan bahwa pemilih MK-BISA lebih ideologis, terutama keterpilihan di basis PKS di Kota Ternate," tambah Jufri.
Baca juga:
Hasil Survey Elektabilitas Empat Paslon Wali Kota Ternate Pilkada 2024
Latihan Gabungan Suporter Malut United: Siap Mengguncang Gelora Kie Raha
Strategi Jitu Duo Umar untuk Menaklukkan Pilkada Ternate 2024
Zonasi dan Pengendalian Politik Uang
Politik uang masih menjadi tantangan serius dalam Pilgub Maluku Utara 2024. Data survei terbaru mengungkapkan bahwa masalah ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Menurut survei, kurangnya kesadaran politik dari kontestan merupakan penyebab utama politik uang, dengan 36,2% responden menyebutkan hal ini sebagai faktor utama. Selain itu, lemahnya pengawasan oleh Bawaslu juga merupakan faktor signifikan, dengan 35% responden menilai ketidakmampuan lembaga pengawas dalam menindak pelanggaran membuat politik uang semakin sulit diberantas.
Kebiasaan pemilih di Kota Ternate juga berperan dalam memperburuk masalah ini, dengan 24,5% responden menganggap politik uang telah menjadi bagian dari budaya pemilu setempat.
”Pemilih yang terbiasa menerima uang dalam pemilu menganggap pemberian tersebut sebagai hal yang wajar dan normal,” kata Jufri.
Jufri Abubakar menegaskan pentingnya penerapan sistem zonasi pengawasan untuk mengatasi maraknya politik uang. “Penerapan sistem zonasi pengawasan yang terintegrasi sangat penting untuk mengatasi praktik politik uang. Pengawasan yang terpusat dan fokus pada area rawan dapat meningkatkan efektivitas pengendalian,” ujar Jufri.
Menurut Jufri, zonasi pengawasan memungkinkan Bawaslu dan lembaga pengawas lainnya untuk lebih mendalam dalam mengidentifikasi dan menindak pelanggaran. “Dengan zonasi, sumber daya dapat difokuskan pada area yang paling rentan terhadap politik uang, baik selama masa kampanye maupun menjelang hari pemilihan. Ini akan mempermudah pengawasan dan meningkatkan peluang untuk menindak tegas setiap pelanggaran,” tambahnya.
Jufri juga menegaskan pentingnya pengawasan ketat selama masa tenang, ketika politik uang sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi. “Masa tenang adalah periode kritis di mana banyak praktik politik uang dilakukan untuk menghindari deteksi,” tegasnya.
Dia menekankan bahwa sistem zonasi pengawasan bukan hanya tentang pembagian wilayah, tetapi mengindintifikasi dan memetakan potensi politik uang secara rigid yang dimulai dari penyebabnya.
“Ini adalah langkah strategis yang harus diambil untuk memastikan proses pemilihan berjalan secara adil dan bersih dari pengaruh politik uang,” tutup Jufri.
Komentar