Opini

Morotai: Tergelincir dalam Pusaran Hegemoni

Morotai punya potensi perikanan dan kelautan. Namun sejak Sail hingga sekarang, kabupaten Nakamura ini tidak termasuk "wilayah produksi" untuk ukuran Timur Indonesia. KEK pada akhirnya hanya jadi buah bibir, tidak dalam upaya mendesain konteks hubungan dagang dan kontak-kontak "urban pesisir." Pemerintah daerah gagal membawa Morotai sebagaimana wajah kearifan lokal kepesisiran masyarakat setempat.

Tahun 2013, seorang dosen membagi temuan riset bahwa Sail bermasalah secara sosiologis. Pertama, konsumsi warga lokal tidak seimbang dengan pertumbuhan usaha kecil di daerah ini. Memang banyak warung-warung makan yang disiapkan. Tetapi paska Sail, putaran ekonomi ikut melemah. Harga-harga makin mahal. Kondisi ini beda sebelum Sail. Penerimaan masyarakat atas Sail adalah bagian hegemoni yang "diframing" sebagai pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:

Guru Lapor Guru di Morotai Gegara Kasus Pencabulan, Begini Kronologinya

Pemasukan daerah juga lemah, karena dimensi pariwisata pun dalam 10 tahun terakhir tidak efisien. Data terakhir sektor pariwisata hanya bisa sumbangkan kurang dari 50 juta per 2021. Di sektor pengelolaan perikanan, harus satu pintu. Akibatnya, koperasi perikanan masyarakat di desa-desa tak bergerak. Struktur birokrasi menutup saluran ini. Sempat terjadi protes warga. Namun yang menyayangkan, sebanyak 40 Ton ikan Tuna di Sangowo dikuburkan karena membusuk. Tak ada pasokan pengawet dan jalur serta fasilitas ekspor/impor jadi lamban. Negara tidak hadir memberi kemudahan sebagaimana visi pertumbuhan dari pemerintah.

Morotai saat ini adalah ciri kehidupan urban pesisir. Pola pengembangan pemukiman mengikuti pusat-pusat keramaian. Disamping infrastruktur jalan dan fasilitas publik lainnya terbangun, tetapi hubungan relasional secara ekonomis justru tak nampak sama sekali. Saya perhatikan di Selatan Barat misalnya, ada terbangun gedung-gedung oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Namun fungsi gedung-gedung ini juga belum jelas. Bahkan ada yang sudah mulai rusak, seperti terdapat di desa Waringin. Sama halnya yang saya temui di Desa-desa Morotai Selatan. Model "button up" dalam bentuk partisipasi pembangunan tidak terjadi, karena ini efek gaya "top down" yang diterapkan elit pemerintahan belakangan.

Kafe-kafe mulai banyak. Tetapi bukan ruang publik dominan, strata sosial masyarakat di Morotai hanya sekelompok orang saja mampir. Berkumpul bukan karena kesamaan persepsi tentang senasib orang Morotai, melainkan sekedar mengisi waktu luang atau ngomong pekerjaan. Percakapan publik di ruang-ruang seperti ini belum berjalan layaknya seruan yang memicu perubahan mendasar secara sosial.

Dalam kondisi seperti inilah, Morotai butuh dikeluarkan dari pusaran hegemoni birokrasi. Morotai butuh dibangun sebagai ciri urban pesisir, bukan menancapkan model rasionalisasi birokrasi. Dan, satu-satunya kemungkinan untuk bisa merubahnya, kembalikan makna sejarah dan seluruh kebijakan politik pembangunan berdasarkan potensi dan akar kultural yang hidup dalam nadir kehidupan orang di Morotai. Morotai tidak boleh lagi tergelincir dalam pusaran hegemoni.

Lemonade, 18 September 2022

Selanjutnya 1 2 3
Penulis:

Baca Juga