Opini

Depresiasi Toleransi Al Zaytun

Selain video tentang menganggap orang lain kafir, juga terdapat video yang mempertontonkan pelaksanaan shalat Idulfitri. Pelaksanaan shalat Idulfitri dianggap berbeda dengan biasanya, yaitu adanya umat non-Muslim yang turut serta melaksanakan shalat dengan posisi tangan berdoa khas umat Nasrani. Juga yang menjadi ganjil dalam video tersebut yakni posisi sejajar dalam barisan shalat antara laki-laki dengan perempuan, tetapi keadaan tersebut shalat diimami oleh laki-laki. Video praktik shalat ini lah yang mengundang penelusuran lebih lanjut mengenai pondok pesantren Al Zaytun ini.

Beberapa hal yang menjadi kontroversi juga diungkap media Kompas, salah satunya adalah saat pimpinan pondok pesantren Al Zaytun, yaitu Panji Gumilang, dalam sambutannya menyeru kepada para santri dan tamu undangan untuk turut melantunkan salam khusus umat Yahudi. Dalam video yang beredar, seketika ramai nyanyian salam "havenu shalom aleichim" menggemakan tempat Panji memberikan sambutannya. Nyanyian salam ini pun mengundang perhatian masyarakat muslim Indonesia untuk berkomentar. Sebagian besar menganggap bahwa pimpinan Al Zaytun mengalami kesesatan dalam berislam.

Dari penjelasan-penjelasan yang dianggap kontroversi tersebut, memiliki keterkaitan dengan sikap kita dalam beragama. Salah satunya adalah sikap toleransi menjadi penting ketika muncul fenomena semacam ini. Pemahaman mengenai toleransi memiliki tujuan, yaitu untuk menelaah praktik-praktik beragama yang dilakukan di pondok pesantren Al Zaytun masih bisa ditolerir ataukah tidak.

Pertama, mengenai sikap mudah mengkafirkan orang lain. Perihal ini menjadi masalah yang cukup substansi. Untuk mereduksi sikap ini, maka dibutuhkan pemahaman mengenai toleransi. Prof. Dr. Mukti Ali mengonsepkan toleransi sebagai sebuah sikap tenggang rasa dalam menghadapi perbedaan. Lebih lanjut diutarakan, perbedaan tersebut dapat berupa pendapat, pandangan, maupun keyakinan.

Kaitannya dengan sikap mudah mengultuskan seseorang kafir dinilai sangat kontradiktif. Pasalnya, salah satu ajaran Islam yang memantaskan Islam sebagai agama yang pro terhadap kedamaian dan keselamatan adalah toleransi. Toleransi tidak hanya dipraktikkan antar agama, melainkan juga intern umat beragama. Hal ini senada dengan Trilogi Kerukunan yang diproklamirkan Menteri Agama Almasjah Ratu Perwiranegara, yang salah satu poinnya tentang kerukunan intern umat beragama. Artinya, toleransi dalam sebuah agama menjadi penting untuk menciptakan kerukunan.

Selain itu, pada prinsipnya Islam menghendaki perbedaan sebagai sunnatullah sehingga ketika diperhadapkan dengan perbedaan, maka dapat direspons secara baik, bukan justru menyalahkan, apalagi mengkafirkan. Meskipun demikian, patut digarisbawahi bahwa perbedaan yang dapat ditolerir adalah perbedaan pada cakupan furu'iyah (cabang). Sebagai contoh, shalat subuh adalah perintah utama, sedangkan doa qunut dalam shalat subuh merupakan perihal cabang. Jadi, ada Muslim yang shalat subuh menggunakan doa qunut, ada pula Muslim yang tidak memakai doa qunut dalam shalat subuhnya, sehingga tidak perlu diperdebatkan. Inilah yang dimaksud sunnatullah, bukan saling mengkafirkan.

Kedua, diduga pondok pesantren Al Zaytun melibatkan umat non-Muslim dalam shalat Idulfitri sebagai alibi toleransi. Hal ini sangat keliru dan tidak dapat dicontohi oleh umat Islam lainnya. Perihal ini ada hubungannya dengan firman Allah SWT dalam QS Al-Kafirun ayat 6. Secara maknawi, Buya Hamka dalam kitab tafsirnya Al-Azhar mempertegas bahwa konteks ayat ini yaitu untuk menghindari sinkretisme (pencampuran) beragama. Artinya, secara keyakinan atau akidah, Islam tegas pada ajarannya, begitu juga dengan agama lain tetap pada taraf akidahnya.

Selanjutnya 1 2 3
Penulis:

Baca Juga