Bunuh Diri
Halmahera Utara Urutan Pertama Kasus Bunuh Diri di Maluku Utara

Ternate, Hpost – Kepolisian Daerah Maluku Utara mencatat, dari 21 kasus bunuh diri yang terjadi sepanjang 2020, Kabupaten Halmahera Utara menempati urutan pertama dengan jumlah 12 kasus.
Informasi yang dihimpun, dari 21 kasus yang ditangani, untuk wilayah hukum Polres Halmahera Utara, masing-masing korban berinisial F (45), JW (22), FC (25), FD (34), AL (17), NM (30), ZM (35), MD (38), DT (17), RM (57), MS (30), dan LK (51).
Di Polres Ternate, korban inisial Z (29), AMN (28), dan MZH (24), Polres Halmahera Barat korban berinisial HB (52), dan BL (21), Polres Halmahera Timur berinisial S dan AK. Kemudian Polres Pulau Morotai, korbannya berinisial SR (49) dan WD (79).
Kabid Humas Polda Maluku Utara, Kombes Pol Adip Rajikan, menjelaskan, untuk wilayah Polres yang nihil atau tidak ada kasus bunuh diri, yaitu Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.
Adip bilang, faktor bunuh diri tersebut karena ada beberapa sebab, di antaranya karena depresi, masalah keluarga, hingga asmara. “Ada juga yang putus asa karena penyakit menahun tak kunjung sembuh,” ucap Adip, Rabu 10 Maret 2021.
Ia lantas mengimbau kepada seluruh masyarakat di Maluku Utara untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri.
Baca juga:
Seorang Pria di Halmahera Utara Ditemukan Tewas Gantung Diri
Remaja di Halmahera Utara Ditemukan Tewas Menggantung di Rumah Kosong
“Bunuh diri merupakan hal yang dilarang dalam setiap agama apapun, untuk itu mari kita bijak dalam menyikapi sesuatu. Karena setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, asalkan kita tidak putus asa dalam menghadapinya, serta selalu dekatkan diri kepada Tuhan guna ditenangkan hati dan pikiran,” pungkasnya.
Butuh Dukungan Banyak Pihak
Sementara itu, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Maluku Utara, Saiful Bahri, mengungkapkan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang dapat dicegah.
“Namun dalam mencegah bunuh diri, memerlukan kesediaan berpartisipasi dari semua anggota masyarakat. Sangat dibutuhkan kerja sama yang erat antara individu dan keluarga, masyarakat, profesi terkait serta dukungan pemerintah,” ungkap Saiful.
Saiful bilang, sesungguhnya bunuh diri pun tidak mengenal usia, jenis kelamin, pendidikan dan strata sosial, ras, warna kulit, ataupun wilayah. Karena bunuh diri bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja.
“Saya khawatir berkembangnya teknologi informasi seperti di media sosial, YouTube, facebook, dan lain sebagainya menjadi media belajar dan imitasi (peniruan) untuk melakukan bunuh diri pada individu yang sedang mengalami depresi,” jelasnya.
Saiful menjelaskan, hasil penelitian Hawtoon dan Heringen (2006), ketika ada kasus bunuh diri, selanjutnya direkam, kemudian di-upload di media sosial ataupun diinformasikan oleh media massa secara mencolok, maka esoknya akan ada orang yang melakukan perilaku bunuh diri.
Untuk mencegah perilaku bunuh diri kembali terjadi, menurut Saiful, perlu dukungan pemerintah bersama organisasi profesi, seperti HIMPSI Wilayah Maluku Utara untuk memberikan psikoedukasi tentang kesehatan mental dan mencegah bunuh diri.
“Kemudian teman-teman asosiasi jurnalis dapat memberikan sosialisasi kepada teman-teman jurnalis, agar tidak terlalu vulgar mengekspos berita bunuh diri karena dapat ditiru oleh orang-orang yang sedang mengalami depresi,” katanya.
Ia juga menyarankan, agar instansi yang berwenang bisa memblokir situs-situs kasus bunuh diri dan lain sebagainya.
“Sejauh ini HIMPSI Maluku Utara selalu memberikan psikoedukasi kesehatan mental di sekolah-sekolah, karena beberapa tahun yang lalu kasus bunuh diri pernah terjadi pada oknum siswa SMK,” ungkapnya.
“Untuk itu, HIMPSI juga berencana melakukan riset tentang perilaku bunuh diri di Maluku Utara, tetapi membutuhkan dukungan pemerintah. Dari hasil penelitian tersebut, mungkin dapat dilakukan langkah-langkah pencegahannya,” pungkas Saiful.
Komentar