Cendekia
Sagu, Pangan Sehat, dan Penciptaan Lapangan Kerja

Dr. (Cd) Ir. Rajah Indrayana, M.Eng, alumni Saga University Jepang, pemerhati dan praktisi industri sagu.
Sagu sudah diteliti BPPT sejak tahun 80-an. Baru sekitar tahun 2010 sagu dalam bentuk produk turunan mulai gencar disosialisasikan, di antaranya beras sagu, mie sagu, cookies sebagai pangan sehat rendah gula, plastik ramah lingkungan, gula cair, serta pemanfaatan ampas sagu sebagai media tanam jamur merang. Baru beberapa tahun terakhir, ampas sagu digunakan sebagai briket arang sebagai bahan bakar. Karena biaya yang terbatas, sosialisasi hanya menjangkau kota-kota di Jabodetabek atau bekerja sama dengan komunitas pangan sehat di luar Jabodetabek, di antaranya Yogyakarta dan Surabaya.
Ternate, walaupun merupakan pusat kegiatan kawasan daerah penghasil sagu, ditemukan banyak penderita diabetes, termasuk yang tertinggi di Indonesia. Sebuah catatan tahun 2011 menunjukkan hampir 40 ribu penduduk Ternate terkena diabetes. Seiring dengan tingginya angka diabetes, ternyata angka prevalensi obesitas di Ternate jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Hal ini diduga akibat gaya hidup di mana makanan yang dikonsumsi mengandung lemak dan kadar gula tinggi. Sementara pola geografis Ternate yang berbukit dan jalan yang terjal menjadikan penduduknya malas bergerak. Tidak ada kebiasaan bersepeda dan jogging. Paparan sinar matahari serta udara yang panas menjadikan penduduk, terutama perempuan, malas ke luar rumah. Jika naik angkutan, mereka naik dan turun tepat di depan rumah. Akibatnya, kalori hasil dari makan karbohidrat, gula, dan lemak berlebih akhirnya disimpan menjadi obesitas.
Dirjen P2P Kemenkes, Dr. Maxi, dalam rangkaian acara Gerakan Lawan Obesitas di Ternate bulan April lalu mengatakan, "Obesitas meningkatkan risiko mengalami penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit jantung, kanker, hipertensi. Jika tidak ditangani, maka akan berdampak pada kematian. Hal ini akan berdampak pada peningkatan pembiayaan kesehatan yang harus ditanggung oleh negara." Keberhasilan pencegahan obesitas dapat dicapai dengan intervensi pada faktor risiko dan determinan sosial, serta kondisi lingkungan yang mendukung individu untuk hidup sehat, misalnya keinginan masyarakat untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur, ketersediaan makanan sehat yang tidak mengandung tinggi gula, garam, dan lemak, serta adanya kolaborasi multisektoral yang kuat dalam mengupayakan pengendalian obesitas.
Walaupun pernah menjadi makanan pokok dan masih ditemui sebagai pangan sela, manfaat sagu masih belum banyak dipahami, padahal sagu berpotensi menurunkan dan mencegah obesitas serta diabetes. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Barahima Abbas dari Unipa Manokwari dan Walikota Tidore yang menyatakan bahwa ketersediaan pangan berbahan sagu masih jarang karena kurangnya jiwa wirausaha masyarakat dan belum dikuasainya teknologi yang mendukung. Padahal seperti yang dikatakan Dirjen P2P Dr. Maxi, keberhasilan pencegahan obesitas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan sehat yang tidak mengandung tinggi gula, garam, dan lemak. Semua sifat itu terdapat pada sagu.
Baca juga:
KPU Maluku Utara Ungkap Fakta Pemeriksaan Kesehatan Sherly
Fix! Politisi NasDem Dapil Ternate Utara Diusulkan Jadi Ketua DPRD
Resultan dari ketiga pernyataan di atas adalah perlunya ditumbuhkan wirausaha pangan sagu dengan dibekali peralatan yang tepat sasaran. Bersyukur, Menteri Perindustrian yang dalam dua tahun terakhir sudah fokus pada pengembangan industri sagu masih melanjutkan upaya ini. Selain itu, Kepala Bappenas/Menteri Perencanaan Pembangunan pada kabinet sekarang dijabat oleh orang yang paham sagu. Sebulan yang lalu, Prof. Rahmat Pambudy menjadi pembicara pada sebuah webinar dengan tema Pengembangan Industri Sagu untuk Pertumbuhan Ekonomi, yang dalam penjelasannya dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan ekonomi lokal, dan diversifikasi ekonomi daerah. Sagu sendiri memiliki andil dalam mendukung ketahanan pangan nasional dan berpotensi ekspor untuk menghasilkan devisa negara.
Sepuluh tahun berjuang dalam Tim Sosialisasi Sagu ke berbagai kementerian dan lembaga, mulai dari Kementan, Kemen LHK, DPR, Bappenas, Kantor Sekretariat Kepresidenan, hingga hampir semua kementerian relevan. Namun, baru Kemenperin yang melakukan langkah nyata. Tahun 2022, melalui Ditjen IKMA, inovasi beras sagu terpilih menjadi salah satu dari dua pemenang kompetisi Indonesia Food Innovation. Tahun 2023, Ditjen Industri Agro mengundang kami untuk mempresentasikan sagu dari tiga aspek utama: agronomi, termasuk luasan hutan sagu, produktivitas, dan sebarannya di Indonesia; aspek fungsional, manfaatnya bagi kesehatan terutama kemampuannya mencegah dan menangani diabetes; serta aspek industri/mesin produksi. Ditindaklanjuti pada tahun 2024 dengan kegiatan Simposium Nasional Industri Pengolahan Sagu di Auditorium Kemenperin dan Expo Produk Turunan Sagu, Talkshow, dan Demo Masak berbahan sagu di Sarinah Mall
Pada webinar di atas, Profesor Rachmat Pambudy menambahkan bahwa: Menangani sagu, terutama untuk fungsinya sebagai pangan lokal, sebaiknya dilakukan oleh investor lokal karena sagu juga memiliki nilai budaya sebagai pusaka alam dan budaya warisan leluhur. Investor lokal harus berperan dengan bantuan/fasilitas pemerintah pusat dan daerah, seperti pembangunan infrastruktur, misalnya jalan menuju daerah di mana pohon kebun sagu berada.
Menangani sagu tidak cukup melalui pembuatan master plan, rencana strategis, atau rencana jangka panjang, menengah, dan pendek. Tetapi juga sebagai kekayaan yang bisa dimanfaatkan sekarang sekaligus diwariskan kepada anak cucu di masa mendatang.
Tulisan ini sebagai pengantar dari serial tulisan yang membahas sagu dari banyak aspek. Agar sagu yang menjadi kekayaan sumber daya alam Maluku Utara bisa dimanfaatkan kembali dengan mengadopsi teknologi pengolahan sedemikian rupa sehingga sagu bisa dijadikan komoditas unggulan, makanan pokok, penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan.
Komentar